30. Kabar yang Terdengar

1.2K 154 94
                                    

"Dasar gila"

"Hampir..."





"Did I hurt you?"

"You're the one who is hurting yourself."

Haechan menghantamkan tangannya sendiri ke dinding, dua kali. Namun, yang terasa perih bukan pada permukaan kulit punggung tangannya, melainkan ujung hati yang ngilu melihat punggung Renjun memerah akibat gigitan. Lelaki itu sedang duduk di sebelahnya, mengenakan celana selutut dan tanpa atasan, kulit bertatonya diumbar, termasuk beberapa bekas gigitan dan bercak merah di beberapa tempat. "Maaf." Bukan kebiasaannya bertindak kasar—termasuk dalam kegiatan bercinta.

Dia lepas kendali.

Seakan tuli, Renjun tak acuh atas permintaan maaf Haechan. Dia lebih tertarik mengoleskan cairan pembersih luka menggunakan cotton bud layaknya mencoretkan cat minyak ke permukaan kanvas. Kulit punggung tangan itu lecet, memerah dan sedikit mengeluarkan darah. Setelah mencari tahu beberapa cara bagaimana mengatasi memar di internet, dia mencoba melakukan apa yang dianjurkan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan luka karena tangan itu tidak sekedar memar, tapi juga berdarah. Katanya si penderita memar harus mengonsumsi obat anti nyeri—tidak ada obat jenis itu pastinya di sana, yang bisa dia lakukan adalah mengompres bengkak dengan handuk yang direndam dalam air panas terlebih dahulu—beruntung ruangan itu memiliki dispenser sehingga dia tidak perlu keluar rumah untuk mendapatkan air panas.

Masih dengan tekun, dia mengangkat handuk kecil dari mangkuk berisi air panas dan memerasnya, lalu melipatnya menjadi lipatan kecil dan meletakkannya di atas luka, menekannya pelan agar panas pada handuk benar-benar menempel ke seluruh permukaan punggung tangan. Terdengar rintihan tertahan dari mulut Haechan—lelaki itu berusaha keras menyembunyikan sakitnya. "Lo kan banyak duit, kalau ada waktu tolong periksa tangan lo ke dokter. Gue takut tulang di tangan lo ada yang patah."

Haechan mendongak, arah pandangnya langsung bertemu dengan manik Renjun yang menatapnya dingin. Sadar, tindakannya membuat lelaki itu marah. "Maafin gue." Dia benar-benar harus mengucapkan kata maaf sampai mendapatkan ampunan. Dia takut marahnya Renjun yang berbentuk sikap diam, tatapan dingin, dan tidak ada makian.

"What makes you so angry?"

Bibir Haechan mengulas senyuman tipis. Hembusan napasnya pelan, tetapi terdengar berat penuh beban. "My self," gumamnya.

Berlawanan, Renjun justru menghembuskan napas berat secara gamblang menunjukkan kesalnya. "Are you satisfied with hurting yourself?"

"Sorry for playing hard."

"Yang gue maksud luka di tangan lo," tegas Renjun.

"My wounds are nothing compared to this." Haechan menggerakkan tangannya yang bebas mengelus bekas gigitan di kulit bertato Renjun. "Sorry ...."

"Maybe you forgot, I hate you getting hurt too," kata Renjun tajam.

Haechan berusaha bersikap tenang. Dia mengatur napasnya, menarik dalam udara dan berujar, "Maaf." Lalu, menghembuskan napas sembari menjatuhkan kelapa di pundak Renjun.

"Sejak kapan lo suka nyakitin diri sendiri?" tanya Renjun. "Haechan yang gue kenal ga peduli orang lain. Dia cuma mentingin kemaunya. Mewujudkan fantasi gilanya dengan segala macam cara."

"Jangan berdebat dulu. Gue capek," pinta Haechan pelan.

"Atau, lo lagi nyiksa diri biar fantasi gila lo terwujud?" tebak Renjun, lagi.

WALKING AROUND [2nd Book]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang