"Gue mohon, pulang sebentar.
•
•
•
•
•Kata orang, inti dari pendakian adalah sebuah proses dari perjalanan itu sendiri. Puncak hanyalah bonus.
Bagi Haechan, perjalanan mendakinya adalah pengalihan yang gagal. Dan puncak adalah wahana baru untuk semakin rindu.
Pemandangan landscape sempurna di depan mata. Hamparan hijau pegunungan Meratus yang terlihat seperti tidak punya batas. Saling bersambutan kaki gunung yang satu dengan gunung lainnya. Awan berupa kabut menjalar dari bawah menuju langit secara berkala. Menutupi sebagian semburat matahari pagi di ujung timur bumi. Jumlah sempurna untuk menciptakan garis-garis indah bertinta keemasan.
Udara yang bersih. Keheningan yang nyaman. Bukankah hal-hal semacam itu sering dia nikmati bersama seseorang?
Senyuman simpul tergores di wajahnya. Haechan yakin Renjun akan senang berada di tempatnya berada sekarang. Kepalanya mulai membayang-kan lelaki itu mengarahkan lensa kamera ke segala arah. Mengesampingkan hadir dirinya meski mereka berdekatan. Fokus Renjun terhadap sesuatu yang dia suka selalu dijadikan yang utama. Sementara Haechan, hanya berada di urutan ke sekian.
Tak apa, Haechan tidak keberatan di mana pun urutannya berada asalkan Renjun masih di dalam radarnya.
Miris.
"Apa gue doang yang kayak gini?" Haechan terkekeh.
Mencoba keluar dari kepala yang berisik, Haechan mengedarkan pandangnya ke sekitar. Terlihat Tata di ujung puncak gunung yang tidak seberapa luas itu sedang memicingkan lensa kamera memfoto Meri dan wanita lain di kelompok pendakian, yang Haechan baru tahu bernama Findy dan Tani. Dirinya terlalu sibuk dengan rindu pada Renjun. Beberapa hari berjalan dalam kelompok yang sama, lupa harus saling mengenal—setidaknya bertanya nama.
Tawa riang Meri terdengar ke mana-mana. "Itu cewek ga ada beban hidup kali ya, ketawanya lepas banget." Mau tak mau Haechan terhipnotis untuk ikut tertawa, meski yang keluar dari mulutnya berupa tawa hambar.
Tidak hanya Meri, Findy dan Tani yang terlihat asik mengambil foto, para lelaki di kelompok itu pun sibuk mengabadikan pemandangan dan momen di atas sana. Tidak seperti Haechan: dia kehilangan minat melakukan apa pun. Berdiri sambil memegangi gelas kecil berisi kopi hitam dari tumbler milik Tata. Dia merasa cukup mengenang indahnya tempat itu menggunakan mata dan kemampuan mengingat saja.
Bagi Haechan, bonus sempurna untuk perjalanan jauhnya adalah langit pagi yang sangat cerah—tidak seperti sore kemarin: hujan. Sisanya tetap tentang rindu.
Semua anggota dalam kelompok itu tampak terharu berhasil tiba di puncak dan alam menyambut mereka. Haechan tersenyum simpul meman-dangi tiap wajah bahagia itu. Dia juga bahagia, bertahan dalam medan pendakian yang cukup berat di dalam hutan hujan tropis, dirinya berhak mendapat pujian. Sayangnya, rasa bahagia dan bangga berhasil berjalan sejauh itu tidak seberapa dibandingkan sesak di ujung dada yang tak kunjung hilang.
Tiap menghirup udara, selalu ada beban yang memaksa sebagian napas gagal berlalu-lalang.
"Balik dari sini, kembali ke kota, nginap di kosan gue, kan?" tanya Kun, menghampiri Haechan setelah puas memfoto segala sudut puncak.
Haechan menggigit bibir bawahnya.
"Rumah lo belum siap huni," lanjut Kun. "Ga usah booking hotel."
"Sehari-dua hari gue tinggal di sini boleh, ga?" tanya Haechan.
"Hah?!" sentak Kun. "Mau nginap di desa maksud lo?"