"Because all I see from yellow is only brown now, green is gone."
•
•
•
•
•Dari sekian banyak motor dan orang-orang di parkiran, Meri yang baru pulang dari lembur berpapasan dengan Haechan, lelaki itu berjalan cepat menuju bangunan kafe. Rautnya semrawut. Langkahnya terburu-buru. Meri sampai mengedarkan pandangannya dua kali ke area parkir, mencari tahu apa yang terjadi, tapi tidak ada hal aneh di sana selain banyaknya pengunjung.
Bruk! Setibanya di ruangan baking, suara hantaman nyaring mengejutkan pendengarannya. "Lo gila?!" Kun membentak Haechan. Meri membatu di ambung pintu, telinganya mendengar suara keras, dua kali, dalam waktu berdekatan.
Hening.
Takut memperburuk keadaan, Meri segera masuk dan menutup pintu. Dia tidak mau kegaduhan di ruangan itu diketahui pengunjung di luar sana.
"Chan, tenangin diri lo!" tegas Kun. Menarik tubuh adik sepupunya itu, memaksanya duduk di kursi.
"Lo ga ngerti," ucap Haechan berat. Membungkuk punggungnya hampir mencapai lutut. Diremasnya rambutnya sendiri begitu kencang. "Gue kehilangan dia berkali-kali."
"Kenapa?"
Haechan menegakkan tubuhnya dan tertawa. Sudah tidak sanggup menjelaskan: sebab Renjun sudah menghilang berkali-kali dari radarnya.
"Chan!" teriak Kun, memanggil sadar adiknya itu.
"Memang dari awal gue ga seharusnya jatuh hati, Bang."
Kalimat yang keluar dari mulut Haechan, Meri menyimpulkan obrolan kedua lelaki itu akan semakin bersifat pribadi. Dia bergerak pelan, berusaha tidak menimbulkan suara keras, mendekati satu per satu karyawan yang berhenti bekerja karena rasa penasaran, mendorong mereka menyuruh pergi dari sana. Memberikan ruang untuk dua lelaki itu bicara.
"Renjun udah kasih peringatan, jatuh kepada pesonanya adalah kesalahan besar." Haechan melanjutkan bicaranya. "Dari awal gue tau dia bukan pribadi yang mudah ditaklukkan. Ngejar dia atas kemauan gue sendiri. Lo tau saat gue mau sesuatu, gue harus dapetin itu. Usaha gue buat dapetin Renjun sulit dari apa pun, Bang. Semua yang ada di gue dia ditolak. Cuma sama dia gue ga ada harga dirinya. Gue banyak mengesampingkan ego gue. Bersabar mengikis tembok dia yang begitu kokoh dan tinggi."
"Gue berhasil, Bang," ujar Haechan. "Gue berhasil bikin Renjun sama jatuhnya kayak gue. Tapi—" suaranya tercekat. "Ga ada jaminan kalau Renjun ga bakal pergi dari sisi gue. Dia bisa hidup tanpa gue, sedangkan gue ga bisa tanpa dia! Fakta itu bikin gue harus tetap berusaha. Gue harus jadi Haechan yang dia mau."
"Renjun nuntut itu dari lo?" sela Kun.
Haechan menggeleng lemah. "Dia ga pernah minta apa pun dari gue. Dia ga pernah nuntut sesuatu. Itu bikin gue selalu khawatir dia bakal pergi kapan aja karena dia ga perlu gue. Saking takutnya, gue mutusin buat selalu jadi sosok yang dia banggain. Biar ga ada orang lain yang usahanya sekeras gue. Biar ga ada yang bisa nandingin gue jadi sosok paling pantas di sisi dia."
Kun ingin memaki, adik sepupunya itu benar-benar gila. Si Paling Bekerja Keras demi melindungi orang terkasihnya. Usahanya di luar akal, itu karena ketakutan terbesarnya adalah gagal melindungi. Kehilangan tanpa berbuat apa-apa. Namun, karena dia mengenal jauh seorang Haechan, makiannya dia telan sendiri, diganti dengan rasa ibanya yang ditunjukkan dengan mendekat dan memeluk lelaki itu. Membiarkan badannya menjadi sandaran Haechan yang sedang duduk tak bertenaga di kursi.
"Tenangin diri lo dulu," ucap Kun. "Kita harus ke rumah sakit. Gue yakin jari tangan lo ada yang patah. Balik dari rumah sakit, gue bakal bantu lo nyari Renjun. Dia ga bakal pergi jauh. Ga ada keberangkatan pesawat malam-malam gini."