"He really must not be okay without me"
•
•
•
•
•"Lo yakin mau balik ke Inggris sekarang?" Jaemin bertanya kepada Renjun, lelaki itu sedang duduk bersamanya di bandara. Tangannya sibuk saling memijat satu sama lain.
"Kuliah gue masih banyak semesternya," sahut Renjun.
"Ninggalin Haechan?" tanya Jaemin lagi. Mereka duduk di kursi panjang, Renjun duduk berjarak dari tempatnya berada. Tubuhnya menghadap lelaki itu.
Renjun diam.
"Dude, I know you don't care about other people easily. But, Njun ...." Jaemin menyatukan kedua deretan giginya. "Yang lo tinggal pergi itu Haechan!" Dia menekankan. "Nyokap lo udah biasa sama tingkah lo yang suka tiba-tiba menghilang. Tapi Haechan, lo yakin tega ninggalin dia?"
Renjun mengelus tato kecil di sela jarinya dan menatap sayu. "He'll be fine without me," gumamnya.
"Kata siapa?!" Jaemin menahan diri untuk tidak berteriak. Dia sangat ingin mengguncang tubuh temannya itu mungkin dengan begitu lelaki itu akan kembali warasnya. "Lo nyiksa anak orang, Njun. Berkali-kali lo ninggalin dia dan kali ini gue yakin dia bakal gila."
Renjun menoleh dan melayangkan sorot mata siap membunuh.
"See!" tandas Jaemin. "You hate him being sick."
"He's fine when I'm away," kata Renjun.
Jaemin mengusap kasar wajahnya. "Dude, you know he's just pretending."
"Then just continue." Renjun mengedikkan bahunya dan kembali duduk lurus.
"Njun!" sentak Jaemin. "Lo sejahat itu?"
"Dia yang jahat," ucap Renjun. "After changing me, making me dependent on him, he even tried to be okay without me. Isn't that so unfair, it's as if I'm the only one who needs him."
"Nah, lo juga ga bisa hidup tanpa dia kan?" celetuk Jaemin.
"You know, now I can fall sick just because I didn't meet him," beritahu Renjun pelan, suaranya bergetar. "Gue udah ketergantungan sama sosoknya. He asked me to grow together, but in the end, he struggled alone to build the role he wanted. Dia selalu kayak gitu. Dia ga perlu gue. Dia cuma perlu fantasinya terwujud di gue." Dia membungkuk, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Di tengah sibuknya bandara, hilir-mudik orang-orang menyeret kopernya, suara isak tangis sayup tertangkap indra pendengaran, membuat Jaemin tak enak hati sudah menyimpulkan keputusan lelaki itu adalah tindakan yang jahat.
"Lo tau, dengan usahanya biar terbiasa jauh dari gue, itu bikin gue takut kalau usahanya berhasil dan akhirnya dia benar-benar dia fine tanpa gue," tambah Renjun. "So, what happens if he can really live without me?"
Jaemin diam.
"Gue bakal susah sendiri tanpa dia, sementara dia baik-baik aja," tambah Renjun.
Untuk pertama kalinya Jaemin mendengar keluhan Renjun, dan itu membuatnya ingin menangis—haru dan sedih bercampur menjadi satu. Renjun tak pernah seterbuka itu tentang perasaannya. Lelaki itu selalu menyimpannya sendiri. Lalu, apa yang membuatnya begitu jujur meluapkan segalanya? Apakah dia begitu frustrasi menanggung sendiri perasannya terhadap Haechan?
Bimbang, Jaemin menjadi bingung harus berpihak kepada siapa. Membela sisi yang mana. Kedua temannya itu sama sedang tidak baik-baik saja.
"Njun." Jaemin menggeser duduknya dan meraih bahu Renjun. "If you leave Haechan is the same as hurting yourself, then what's the difference? Doesn't it get worse, you're sick and there's no him."