"Bukan tanpa alasan dia membeli semua hal berbau wangi tubuh lelaki itu"
•
•
•
•
•Beberapa hari berlalu, Haechan tetap pada kebingungan harus bereaksi bagaimana atas kejadian malam itu: Meri mengecup bibirnya. Dia dan wanita itu jarang bicara seperti biasa—obrolan terlama mereka berlangsung saat makan bersama. Dari pertama mengenal, wanita itu tak pernah mengajaknya kecuali dirinya yang memulai bicara lebih dulu.
Tidak ada gelagat aneh yang Meri tunjukkan sehingga Haechan berusaha bersikap biasa saja. Kecupan itu tidak berarti baginya. Dia hanya bingung, kenapa wanita itu sampai bisa berbuat nekat mendekatinya. Atau, saat itu bukan Meri yang melakukannya, mungkin sosoknya yang lain entah apa namanya.
Tidak ada bunga bermekaran dalam rongga dadanya, karena Merilah orang yang melakukannya, bukan Renjun—baginya itu hal berbeda.
"Besok gue mau ke Jakarta." Di ruangan baking, saat dirinya, Kun, Meri dan Tata makan siang bersama, Haechan membuka obrolan.
Meri dan Tata hanya menoleh, sementara Kun tampak penasaran. "Ngapain? Baru seminggu yang lalu lo balik ke sana."
"Winter dan Chenle mau ke Inggris," beritahu Haechan.
"Ngapain?" ujar Kun.
"Liburan," jawab Haechan.
"Lo ga ikut?"
"Emang boleh?" Haechan balik bertanya.
"Siapa yang melarang?!" cibir Kun.
Haechan menatap Meri dan Tata bergantian. "Apa ga masalah gue pergi liburan, sementara kalian bakal repot sama acara barista itu?" tanyanya.
Kafe mereka akan dijadikan tuan rumah untuk ajang kompetisi antar barista se-Kalimantan.
Meri dan Tata bertukar tatap.
"Kok ga jawab?" tuntut Haechan.
"Kok nanya mereka?" timpal Kun. "Mereka mah terserah lo mau liburan apa ga. Kemarin lo maksa diterima kerja jadi waiters, biar sibuk. Aslinya lo pemilik tempat ini, kami ga ada hak melarang lo liburan."
Haechan memajukan bibir. "Dilarang kek," sungutnya. "Kan kalau kalian melarang gue pergi, gue jadi merasa jadi orang penting di kafe ini."
Kun mencibir. "Apa-apaan lo?"
"Masa gue pergi ga ada yang melarang sih?" ujar Haechan.
Tata tertawa. "Kamu lucu banget sih, Bang. Malah minta dilarang buat pergi."
"Kenapa sih, Chan?" selidik Kun.
"Kalau kalian melarang gue pergi, gue punya alasan buat ga pergi bareng adik-adik gue," kata Haechan.
"Aneh banget!" Kun sekali lagi mencibir.
Haechan menaikkan bahunya dan memilih diam. Perbincangan itu hanya basa-basi. Dia memang tidak pergi. Dia menahan dirinya untuk tetap tinggal, bersikap tenang meski palsu. Sebenarnya, bagian lain dalam dirinya meronta ingin terbang menemui seseorang jauh di sana.
🍃
Haechan pergi ke Jakarta untuk mengantarkan kedua adiknya ke bandara saja. Winter mengajak dirinya dan Chenle pergi berlibur usai menyelesaikan syuting film yang dia lakukan selama tiga bulan penuh. Winter memberitahu bahwa adiknya itu perlu melepaskan penat sekaligus membebaskan diri dari karakter yang dia perankan.
"Lo beneran ga mau ikut?" tanya Winter. Haechan sedang rebahan di kasurnya. "Lo ga mau ketemu Ka Renjun?"
"Gue sibuk," tegas Haechan.