24. Menyatu ‼️

1.5K 140 45
                                    

"Gue menjadi bukan gue hanya sama lo."





"I want you."

Lehernya diusap begitu sedukatif. "Njun." Haechan menahan Renjun yang semakin mendekat. Sangat paham dirinya apa yang dimaksud lelaki itu. Paham. Namun ...

"I want you," ulang Renjun. Lebih lembut dan pelan. Keningnya bersandar pada kening Haechan. "Lo harus membayar sakit yang gue rasakan karena panik di saat lo seharusnya ada di depan gue, tapi lo lebih mementingkan hal lain." Dia menggeser posisi duduknya ke depan—menempel sepenuhnya. Melingkarkan kakinya memenjara Haechan. "Anxiety attacks me until I have a fever." Kedua tangannya berpindah dari leher, naik menuju kedua rahang Haechan. "Lo bikin gue berpikir kalau gue udah ga ada perannya lagi di hidup lo."

"Bukan, Njun," bantah Haechan. "Tolong jangan salah paham."

"Demam berhari-hari. Gue bahkan ga bisa bernapas dengan baik cuma karena kecewa gagal bertemu lo."

"Sorry."

"Gue benci sama lo," ucap Renjun bergetar. Matanya kembali mengeluarkan buliran, bulir demi bulir air mata.

"Maaf," tutur Haechan.

"Don't you want me anymore?" tanya Renjun.

"Stop, Njun, please. Berhenti bicara omong kosong," pinta Haechan pelan. Tangannya menyeka air mata dan juga keringat Renjun.

Memanfaatkan dekatnya jarak, Renjun mencuri kesempatan untuk mengambil satu kecupan pada bibir Haechan. "Please ...." Dia memohon. Cemasnya memang tak masuk akal. Takutnya terletak pada cara berpikirnya yang menduga Haechan tak menginginkan dirinya lagi. Dia cemas perannya tergeser yang lain. Dia perlu meyakinkan dirinya sendiri bahwa lelaki itu masih memiliki minat besar terhadap dirinya.

Dengan menjadi satu. Dengan tanpa jarak, dengan milik lelaki itu berada di dalam tubuhnya.

"Oh shit!" umpat Haechan tertahan. Renjun duduk di atas miliknya. Bergerak perlahan mengundang yang seharusnya tak bersikap tegap. "Njun, gue ga mungkin nolak lo," katanya. Menangkup wajah itu sambil menjelas-kan. "Tapi, di depan sana adalah parkiran. Rumah ini ga soundproof. Dan, lo lagi demam."

Renjun tidak peduli. Menurutnya, kecemasannya perlu ditenangkan dan dia perlu Haechan untuk mendapatkan itu. Tanpa melepas ikatan kakinya pada tubuh lelaki itu, dia melepas hoodienya dengan menarik ke atas tudungnya. Meninggalkan kaos hitam tipis dibaliknya. "I promise I won't make any noise."

"How can?!"

"I promise," Renjun berjanji. "Dude, please. I can't take it." Bergerak di bawah di sana tidak hanya memanggil milik Haechan menjadi tegap, miliknya juga terpanggil untuk segera dituntaskan. Tergesa-gesa dia melepaskan kaos di tubuh Haechan, lalu melepaskan sendiri kaos di tubuhnya. Memperlihatkan kulit putihnya yang penuh lukisan penuh makna itu.

"Njun, please, take it easy," pinta Haechan. Dia tidak suka main kasar.

"I don't want take it easy," tolak Renjun.

Haechan mengangkat tubuh Renjun yang melingkar pada tubuhnya, berdiri bersamanya dari tepian kasur. Lelaki itu terlonjak dan memeluknya erat takut terjatuh. Membuat kulit mereka saling bersentuhan dan dia benci merasakan demam Renjun melekat pada tubuhnya.

Mereka tidak akan melakukannya di ruangan itu. Haechan membawa Renjun melewati pintu menuju teras belakang yang bersebelahan dengan kamar mandi. Itu adalah ruangan tertutup dengan bagian atas beratap fiber glass. Bagian temboknya menempel pada pagar pembatas bangunan. Di tempat itu suara orang-orang di luar sana samar terdengar, artinya suara mereka juga akan samar terdengar dari luar.

WALKING AROUND [2nd Book]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang