"Bolehkah dia bertindak sedikit gila untuk menghibur lara"
•
•
•
•
•Meri dibawa Kun ke rumah mess miliknya untuk menenangkan wanita itu di sana, ditemani Sia yang baru datang beberapa menit lalu. Keributan tangisan Meri tak sampai didengar pengunjung kafe. Tata memerintahkan semua karyawan kembali bekerja dan mengabaikan apa yang terjadi. Dan Haechan, dia menunggu duduk di teras. Takut ikut campur, menganggap dirinya penyebab Meri sehisteris itu.
"Gimana, Bang?" tanya Haechan kepada Kun yang keluar dari rumah dan duduk di teras di sebelahnya.
"Tidur," beritahu Kun.
"Kok bisa?"
Kun tersenyum tipis. "Tentu, dikasih obat penenang."
"Bukan karena gue kan dia kayak gitu?" tanya Haechan cemas.
Kun menatap Haechan dan terkekeh. "Bukan karena lo," ujarnya. "Tapi, bisa juga karena lo."
"Hah?!" Alis Haechan bertaut.
"Lo ngomong apa sih ke Meri?"
"Ini dan itu," cetus Haechan.
"Ini dan itu apa?" tuntut Kun.
"Gue cuma ngomong, apa dia ga capek pura-pura baik-baik aja melulu."
Kun mengangguk paham. "Lo bisa ngerti dia ga baik-baik aja?"
Haechan mengedikkan bahunya.
"Bukannya lo iri sama sikap cerianya Meri?" ujar Kun.
"Awalnya," ucap Haechan. "Makin sering gue duduk di dekat Meri, gue sadar, tuh cewek sering banget tiba-tiba ngelamun dan moodnya mudah berubah. Saat diam, dia kayak lagi mikirin sesuatu yang berat banget. Gue juga sering liat tangannya bergetar dan dia berusaha keras nyembunyiin itu."
"Yah, dia berusaha keras menutupi banyak hal. Dan lo, orang asing malah menyinggung pertahanannya. Mungkin Meri tersentuh hatinya mendengar kalimat lo. Selama ini ga ada yang benar-benar peduli sama perasaannya. Dia melewati banyak hal seorang diri meskipun hidupnya sangat sering bersosial dengan orang lain."
"Seorang diri? Gue dengar dia bilang 'kita'," ujar Haechan.
"Dia selalu sendiri, Chan," jawab Kun. "Selalu sendiri sampai akhirnya dia nyiptain seorang teman buat nemanin kesindiriannya."
Haechan menatap horor ke arah Kun. "Setan?"
Kun tertawa pelan. "Bukan, bego!" bantahnya. "You know lah."
"Apa Meri sadar temannya itu ga nyata?" tanya Haechan hati-hati.
Kun mengangguk. "Dia tau kok," gumamnya. "Dan, temannya itu berhasil dia hilangkan beberapa tahun belakangan. Gue yakin sesuatu terjadi saat dia ke Jakarta kemarin. Bikin temannya itu muncul lagi. Moodnya Meri lebih sering gonta-ganti. Dan, lo sering dengar dia nangis di malam hari, kan?" Haechan mengangguk. "Dia pasti bertemu orang yang dia hindari."
"Lo tau siapa?"
"Mungkin salah satu dari anggota keluarganya."
Sebelah alis Haechan terangkat. Rasa penasaran mendorongnya ingin bertanya, tapi dia tahan.
🍃
Haechan masuk ke rumah messnya, urusan closing tanggung jawab Tata malam ini. Selesai mandi dia mengambil posisi ternyaman di atas kasur, lalu menghubungi Renjun.
"Gue pikir lo ga bakal nelepon gue lagi," ketus Renjun menyambut telepon Haechan.
"Gue udah balik," beritahu Haechan.