"You know I'm almost crazy"
•
•
•
•
•Hampir enam bulan tidurnya selalu dalam rasa takut: takut mimpi buruk dan Renjun mengetahuinya, dan lebih takut jika lelaki itu mengetahui penyebab dirinya bermimpi buruk.
Pagi ini, di penghujung tidur ternyamannya setelah sekian lama, mimpi buruk itu muncul sebentar. Menimbul gelisah dan tubuhnya bergerak di luar kendali, memberitahu orang di sebelahnya bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi di alam sana.
"Chan!"
Terlihat samar bagaimana keadaan di dalam sana, Haechan hanya bisa merasakan sakit teramat di relung dada. Membuatnya menjerit tertahan. Meremas apa saja di dekat kedua tangannya
"Haechan ...." Suara lembut itu memaksa matanya terbuka dalam sekejap. Di depannya hadir wajah, sedang menatapnya tajam. "Again?" Pertanyaan itu begitu menyudutkan. Maniknya menghindari tatapan penuh selidik. Tidak ada lagi alasan untuk berkilah. Dia tertangkap basah.
"Even when I'm here, you still have bad dreams?"
Lebih memalukan adalah buliran air mata yang mengalir di luar kendali—itu selalu terjadi tiap dia terbangun dari mimpi buruknya. Dia bergegas menutupi mata dengan telapak tangan. Menyembunyikan bukti lemahnya. Menolak diketahui lebih banyak oleh lelaki itu.
"What are you trying to hide?" ujar Renjun. "I've seen it." Ditariknya tangan Haechan dari wajah lelaki itu.
"Ga ada yang gue sembunyiin." Haechan tertawa pelan untuk berkilah. "Just a nightmare. Everyone has experienced it. Jangan berlebihan. Dan ini ...." Dia menyeka air mata. "Mata lo juga pasti pernah berair saat bangun dari tidur."
Renjun menghela napas. "What the fu—," desisnya tertahan. "—I hate you." Tangannya terulur, mencekik leher Haechan.
"Jangan dicekik," pinta Haechan lembur.
"Lo bajingan."
Haechan meloloskan napas berat. "Izinkan bajingan ini bernapas."
Renjun membebaskan leher Haechan, bagaimanapun dia tidak ingin lelaki itu mati. Kemudian berganti, rasa kesalnya dilampiaskan dengan cara lain: merambat naik ke atas tubuh Haechan, berbaring di sana memeluk seerat yang bisa dia lakukan.
"Dude, I can't breath," protes Haechan. "Apa bedanya dicekik sama dipeluk kayak gini?!"
Seakan tuli, Renjun justru mempertahankan kekuatan pelukannya.
"Njun?" gumam Haechan meminta untuk dibebaskan. "Gue pikir kita harus bangun. Ini hampir siang," beritahunya setelah melirik ke arah jendela. "Atau, lo maunya kita terus kayak gini?" tanyanya karena tidak ada tanda dia akan dibebaskan.
"Ide bagus," sahut Renjun.
"Tidur seharian?" Intonasi bicara Haechan meninggi.
"You just asked me what I want. After I answered, you even refuse. What the hell, dude."
Haechan menghela napas, dia kalah.
"Do you not like us like this?" Renjun mendongak setelah bertanya. Menunggu jawab Haechan dengan menatap tajam. Dan, belum sempat Haechan menjawab, getaran di bawah tubuhnya menarik perhatian keduanya. Semenjak bersama Renjun, Haechan tak acuh terhadap handphonenya. Dicarinya benda itu dan dia temukan berada di bawah punggungnya—tanpa melepaskan diri dari kekangan bayi besarnya, dia menjawab dari telepon Kun.
"Lo di mana sih? Dari kemarin sore ngilang, sampai malam ga nongol bantu gue closing. Pagi pun lo tetap ga muncul."
"Lo di mana?!" ulang Kun lebih nyaring.