09. Gelembung Sabun

949 133 22
                                    

"Aku berharap luka orang-orang di dunia ga ada yang abadi. Mudah lenyap seperti gelembung sabun."





Lukanya mendapat lima jahitan. Tepat di pelipis kiri, benda tajam itu hampir menghujam bola mata. Setengah alisnya harus dicukur dan jahitan itu menimbulkan bengkak di sekitar mata. Luka itu ditangani dengan baik oleh dokter dan diperban rapi. Baginya luka itu tidak seberapa dibandingkan perlakuan dingin Chenle kepada dirinya dan Winter yang terus menerus menatap tajam. Rasa sakitnya teralihkan oleh rasa tidak enak.Sekarang dia duduk di ruang tunggu pasien bersama Winter yang duduk berjarak darinya, adiknya itu menatap tajam dari jauh di balik wajahnya tertutup masker dan topi besar, sementara Chenle pergi menebus obat.

Melihat putranya mendapat luka akibat cara menyetirnya yang kurang profesional, melihat darah bercucuran, mama mereka berteriak histeris dan jatuh pingsan. Haechan dibawa ke rumah sakit oleh kedua adiknya. Bima menjadi penanggung jawab mengurus mama mereka karena ayah masih dalam perjalanan pulang.

"Ck, kok berasa semua ini salah gue, ya," gumam Haechan, protes terhadap sikap Winter. "Kan, mama yang nyetir."

"Ngelamun aja terus, Ka. Lo beneran kayak orang lingkung. Di dalam mobil lagi rusuh, bisa-bisanya lo ngeblank," ujar Winter ketus.

Haechan memilih diam dan memainkan jarinya.

"I hate you," desis Winter.

"Dude ...," tegur Haechan pelan.

"Gue ga ngizinin lo balik ke Kalimantan kalau lo masih kayak gini," tegas Winter.

"Hei! Kok ngatur?" protes Haechan pelan. Peran over protektifnya benar-benar diambil alih oleh kedua adiknya.

"Bodo!" Winter meluruskan punggungnya dan melipat tangan di dada.

Haechan berdecak, tapi menyerah untuk protes. "Chenle mana sih, kok lama," gerutunya pelan, bicara pada diri sendiri.

"UNCLE!!" Chenle datang bersama seorang anak kecil. Mereka bergandengan tangan. Anak itu berjalan sambil melompat kecil. Tangan bebasnya melambai penuh semangat ke arah Haechan. Senyumannya terlihat lebih menyerupai tawa.

Haechan bangkit dari kursinya dan menghampiri anak itu. "Willim?!" serunya tidak percaya.

Willim menarik tangannya dari pegangan Chenle. Melompat-lompat di kaki Haechan sambil mengangkat ke dua tangannya di udara. Anak itu meminta Haechan untuk menggendongnya.

"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Haechan. "Dude, kenapa anak ini bisa sama lo?" tambahnya, bertanya kepada Chenle.

"Nyokapnya ada di sini. Ada nyokap Bang Renjun juga. Gue kasih tau aja lo ada di sini, semangat banget nih anak mau ketemu lo," beritahu Chenle.

Kedua mata Haechan membulat sempurna. "Di sini? Di Jakarta? Ngapain?"

Chenle menaikkan bahunya. "Mana tau gue."

Anak itu memeluk leher Haechan penuh kasih. "Uncle, I miss you," ucapnya sedih.

Beberapa detik Haechan terdiam. Merasa bersalah sudah beberapa bulan dia tidak mendatangi kediaman rumah nenek dari anak itu.

"Apa Uncle berantem sama Lenjun?" tanya Willim. Terdengar lucu, anak itu kini mampu menyebut huruf 'R' tapi menggunakan huruf 'L' untuk nama Renjun.

"Hah?" Haechan tidak menyangka akan ditanyai seperti itu.

"Lenjun juga pergi dan ga pulang. Sangaaat ...lama," kata Willim, pelukannya pada leher Haechan dilepas. Wajahnya dijauhkan agar bisa menatap lelaki itu. "Atau uncle dan Lenjun marah sama aku?"

WALKING AROUND [2nd Book]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang