Pelukan Ayah

659 115 16
                                    

-:D

Hembusan angin malam kini tengah menemani seorang gadis yang sedang duduk dengan secangkir coklat panas. Menikmati setiap angin yang mengenai kulitnya, dan itu tidak membuatnya merasa dingin, karena coklat panas yang ia hidangkan untuk dirinya sendiri. Ria menatap kosong ke arah depan, ada sesuatu yang akhir-akhir ini mengusik pikirannya.

Perkataan Wulan beberapa hari yang lalu, membuat Ria sedikit memutar otak. Ia kira dengan kembalinya ke sini, bisa memperbaiki keadaan dan memulai kehidupan mulai dari nol. Ternyata salah, hanya dengan bertemu Wulan saja ia bisa seperti ini.

"Kenapa kamu?" Suara itu membuyarkannya dari lamunan panjang yang sedari tadi ia lakukan. Uda duduk di samping Ria membuat Ria sedikit menggeser bangkunya.

Pandangan Ria kembali lurus ke depan. "Uda, salah gak sih rindu sama sosok yang pernah ada di dalam hidup kita?" Tanya Ria membuat Uda mengernyit heran. Namun setelahnya Uda tersenyum lembut, ia paham maksud tujuan dari pertanyaan sang adik.

"Enggak lah," jawab Uda.

Ria tersenyum hambar. Tangannya bergerak mengambil secangkir coklat panas yang ada di sampingnya lalu meneguknya. "Tapi, dia udah ada yang baru, Uda. Dan orang baru itu gak izinin Ria buat sekedar rindu dengan dia," wajah murung Ria terlihat jelas di mata Uda. Uda paham bagaimana menjadi Ria, adiknya itu dipaksa kuat oleh keadaan.

"Kamu berhak rindu sama siapapun, Ria. Termasuk Ayah. Karena bagaimanapun, kamu yang lebih dulu kenal Ayah, kamu yang lebih dulu ada di dalam hidupnya Ayah, bukan Wulan. Uda tau kalau sekarang Ayah udah punya Wulan, tapi Ayah juga punya kamu, Ria"

Ria terdiam mendengar itu, sebenarnya ia sedikit terkejut karena tebakan Uda tepat sasaran. Namun Ria tau bahwa uda memang orang yang sangat peka. Benar kata Uda, ia lah yang lebih dulu ada di dalam hidup Ayahnya. Dia juga yang lebih dulu kenal Ayahnya. Itu Ayah Ria juga.

"Ria kangen Ayah, Uda hikss..." bahu Ria bergetar, air matanya tak bisa lagi ia bendung. Ria akui, bahwa ia sangat merindukan Ayahnya. Jika saja nanti ia bertemu dengan sang Ayah, ia akan memeluknya jika diizinkan. Wulan memang sudah menjadi anak Ayahnya, tapi Ria juga, Ria adalah darah daging Ayahnya.

Tangan Uda bergerak mengelus bahu Ria, menyalurkan kasih sayangnya kepada sang adik. Uda tau masalah yang terjadi antara Ria dan Wulan, karena itu Uda juga tau apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini kepada adik kecilnya itu. Awalnya Uda merasa heran, kenapa Wulan mempermasalahkan hal kecil yang jelas-jelas bukan kesalahan Ria. Uda berpikir bahwa Wulan mempunyai masalah lain, sehingga membesarkan masalah ini.

"Tapi ingat ya Ria, kamu memang ada hak untuk ketemu sama Ayah. Tapi kamu juga punya kewajiban untuk menyelesaikan masalahmu dengan Wulan. Ga baik berantem lama-lama," ucap Uda menasehati. Perlahan tangis Ria mulai mereda, kepalanya mengangguk paham dengan apa yang Uda katakan.

***

Lalu lalang kendaraan menghiasi pandangan Ria pagi ini. Di halte, ia sedang menunggu bis Sekolah untuk pergi ke sekolahnya. Tadi, Uda pergi lebih awal karena ada tugas yang harus diselesaikan, maka dari itu pagi ini Ria akan berangkat sekolah menggunakan bis.

Sebuah mobil berhenti di depan halte yang sedang Ria tempati. Ria memicingkan matanya untuk melihat siapa pemilik mobil itu. Betapa kagetnya Ria kala melihat Ayahnya lah yang ada di dalam mobil tersebut. Pintu mobil terbuka, perlahan Ayahnya mulai melangkah mendekatinya.

"Ria, gak kangen Ayah?" Suara itu, suara yang sangat Ria rindukan. Suara yang mampu mengobati rasa rindu yang telah lama Ria pendam.

Ria mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk, menatap lamat mata sang Ayah yang terlihat sendu, membuat Ria tak kuasa lagi menahan kerinduannya terhadap lelaki paruh baya yang ada di hadapannya. Ria menghambur ke pelukan Ayahnya, tangisnya pecah, ia lemah jika tentang orang tua.

"Ayah, Ria kangen," ucapnya di dalam dekapan sang Ayah.

"Iya, Ria. Ayah juga kangen sama anak Ayah," Ayah mengusap sayang surai rambut Ria membuat sang empu merasa tenang dan nyaman.

"Maafin Ayah, nak. Maafin Ayah sudah menyakiti kamu dan Bunda mu. Ayah gak kuat lagi menyembunyikan ini semua. Kalian harus tau yang sebenarnya," ucap Ayah dengan penuh penyesalan. Banyak hal yang harus ia katakan kepada sang anak yang kini sedang berada di pelukannya. Banyak maaf yang harus ia lemparkan kepada anak dan juga keluarganya yang sudah ia sakiti.

Ria melepas peluknya, atensinya beralih menatap Ayahnya dengan tatapan bertanya. "Ayah mau cerita?" Tanya Ria lembut. Ayah mengangguk lemah.

"Ay-"

"Ria"

Ayah dan Ria menoleh ke arah suara yang memanggil nama Ria. Terdapat Wulan yang sedang berdiri tak jauh dari mereka, menatap tajam Ayah dan Ria bergantian. Dengan sigap Ria menjauhkan dirinya dari sang Ayah, bagaimana pun ita tetap harus menghargai Wulan sebagai anak dari Ayahnya.

"Papa ngapain di sini?" Tanya Wulan kepada Papanya.

"Emm, tad-"

"Tadi Papa lo ketemu sama temennya yang juga lagi nungguin di halte ini," potong Ria membela sang Ayah.

Wulan yang mendengarnya hanya mengangguk saja. "Yaudah, tuh bis sekolah udah dateng. Papa nganterin aku ya," ucap Wulan.

"Emm gw duluan," Ria menaiki bis yang sudah berhenti di depan halte lalu bis itu pergi menuju ke Sekolah.

Di sepanjang jalan, Ria berpikir keras tentang apa yang Ayahnya ucapkan tadi. Apakah ada alasan lain yang membuat Ayahnya seperti ini?

Bis berhenti tepat di depan gerbang sekolah Ria, siswa siswi yang sedari tadi memenuhi bis mulai berturunan tak terkecuali Ria. Ria menuruni Bis itu namin tiba-tiba sosok Indro muncul di hadapannya dengan dua plastik es krim dan tidak lupa cengiran lebarnya.

"Hai Ria! Gw bawain es krim nih, yok ke taman sebelum bel," tanpa persetujuan Ria, Indro langsung saja menarik pelan pergelangan Ria menuju taman Sekolah yang tampak sepi. Mereka duduk di kursi taman lalu memakan es krim yang dibawa oleh Indro tadi.

"Gimana? Udah mendingan?" Tanya Indro membuat Ria heran.

"Emangnya gw sakit?" Tanya Ria sembari memutar bola matanya malas.

Indro menghela nafasnya pelan, memposisikan badannya menjadi miring menghadap Ria. Tangannya terangkat memegang bahu Ria. "Lo itu jago banget nutupin masalah, tapi sejago jagonya lo, gw tetep tau, Ria." Ria menunduk, ia tau Indro itu selalu saja tau jika ia memiliki masalah.

"Liat gw, Ria. Gw memang gak tau apa masalah lo kalau lo gak cerita sama gw. Dan gw ga bakal maksa. Tapi apapun itu, semangat! Gw bakalan selalu ada di samping lo," Indro tersenyum hangat kepada Ria. Ia akan selalu berusaha untuk buat Ria tersenyum.

Ria menabrak bidang dada Indro, mengeratkan pelukannya dan tersenyum haru di dalam dekapan Indro.

"Ndro, makasih banget lo selalu ada di saat gw terpuruk. Lo selalu aja buat gw happy walau seberat apapun masalah gw. Gw sayang lo ndro," Ria terpejam menikmati pelukan ini. Ia jarang sekali memeluk Indro, dan sekarang ia benar-benar butuh ini untuk sekedar menenangkan pikirannya. Ia butuh sosok untuk tempat mengadu. Dan Indro lah sosok itu.

"Iya, Ria. Gw juga sayang lo," Indro mengelus pundak Ria dengan lembut.

_________________________

Vote dan komen wehhhh
:D

Kisah Untuk Ria (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang