Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Helaan napas berhembus begitu saja saat ia masuk ke dalam istana tempatnya bernaung. Kerutan di dahinya itu belum berkurang barang sedikitpun.
Langkah gontainya menjadi penanda bahwa ia sudah mulai kehilangan sekian persen energi baiknya di hari yang kian menua––menyisakan sinar emas di penghujung mata memandang.
Mari kita berkunjung pada beberapa hari yang lalu. Pada semester genap di tingkat ketiga ia berkuliah, Abin mengambil salah satu mata kuliah pengabdian yang memang harus dilalui oleh mahasiswa di kampusnya, apalagi kalau bukan KKN––kuliah kerja ngga nyantuy wkwkwk
Canda gais, maksudnya Kuliah Kerja Nyata :v
Karena masih pandemi, pihak kampus memutuskan untuk mengadakan KKN secara daring di daerah tempat tinggal masing-masing.
Untuk memudahkan mahasiswanya dalam menjalani KKN, pihak kampus menyediakan beberapa pilihan paket di dalamnya. Ada paket A untuk pendidikan, paket B untuk lembaga terkait, dan paket C untuk bagian kemasyarakatan.
Karena si Abin ngeliat paket A kayanya lebih mudah, makanya ia pun memutuskan untuk mengajukan surat pengantar KKN yang sudah disediakan pihak kampus pada salah satu sekolah yang dituju.
Awalnya dia menyambangi sekolah menengah pertama yang tak jauh dari rumahnya. Namun, lamaran kerja samanya itu ditolak karena beberapa hal yang sudah ia dengar langsung dari kepala sekolahnya.
Karena Abin ngga mau pusing-pusing nyari sekolahan lagi, pilihan terakhir Abin pun jatuh pada salah satu sekolah dasar yang juga masih dalam lingkup tempat tinggalnya.
Lamaran kerja sama itu pun langsung diterima. Kebetulan disana memang sedang membutuhkan tenaga pengajar karena salah satu guru yang tengah cuti lantaran baru saja terkena musibah kecelakaan. Saat Abin datang membawa surat pengantar, hal itu membuat pihak sekolah senang bukan main.
Namun, sayangnya hal ini agak memberatkan bagi Abin. Ia tak pernah berurusan dengan anak kecil lain, selain dari ketiga adiknya sendiri. Apalagi ini harus mengajar satu kelas dalam rentang waktu tiga puluh hari.
Ini tantangan yang harus ia jalani dalam satu bulan ke depan. Mau tidak mau, ia harus berani menghadapinya.
Setidaknya itulah yang ada dalam benaknya saat ia dalam perjalanan pulang selepas dari jam bermainnya bersama dengan sahabat seperdurjanaannya itu.
Sebenarnya itu hanyalah masalah kecil, namun entah mengapa ia merasa bahwa secuil duri itu seakan menyisakan rongga besar dalam tubuhnya.
"Mas Abin!" Teriak si bungsu yang tergopoh mendekati sang kakak. Raut bahagia terpatri dengan sangat jelas di wajah remaja yang akan beranjak dewasa itu.