Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Malam kian larut dan hanya terdengar bunyi dentingan jarum jam yang saling bersahut di tengah keheningan itu.
Sembari mengusap kedua matanya, Abin––pemuda penuh ambisi jika di malam hari itu mulai melancarkan aksinya. Mata yang mulai memerah itu bahkan tak menyulutkan semangatnya yang semakin membara.
Mottonya di malam hari yakni 'semakin malam semakin menantang', mungkin benar adanya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan tiadanya penerangan di sepanjang ia memandang. Hanya sorot cahaya temaram yang terpancar dari cela-cela pintu yang ia lewati.
Dengan langkah satu-persatu, ia mulai menapaki lantai di bagian atas rumahnya itu perlahan. Dan layaknya pencuri di malam hari, ia mulai menuruni tangga kayu itu dengan hati-hati.
Tangga kayu itu memanglah sering kali berbunyi jika ada yang melewatinya dan membuat kesan horor di rumah itu bila memang tidak ada orang lain di dalamnya.
Saat Abin telah berhasil melewati tangga mencengangkan itu, alhasil perjalanannya berakhir dengan mulus sampai pada tujuannya, ia pun berjingkat senang.
Usahanya tak sia-sia, karena kini ia sudah berada di depan peti harta karun yang tersimpan cukup banyak surga dunia bagi perutnya yang sedang berdendang itu.
"Wihii banyak juga cemilannya!" Pekiknya senang.
Pemuda itu segera memilih cemilan kesukaannya, tak lupa pula ia memasukkan beberapa minuman dingin dari lemari pendingin yang ada di samping tempat penyimpanan itu dan memasukkannya ke dalam kantong kresek hitam yang sudah ia siapkan sebelum ia turun tadi.
"Dah cukup persediaannya," gumamnya dan segera berlalu kembali ke kamarnya.
***
Cklek
"Gadang terus!"
Merasa disindir, pemuda yang ada di hadapannya itu hanya melirik sekilas dan melanjutkan kembali aktivitasnya yang tertunda.
Seolah itu memang kamarnya, seorang Abhinara yang nampaknya tak kenal malu ini dengan segera menuju kasur kosong di hadapannya dan membaringkan sejenak tubuhnya itu.
Memanglah si Abin ini sebelum memasuki kamarnya sempat melihat lampu kamar si bungsu yang masih menyala. Keinginan untuk hinggap sejenak di kamar itu pun semakin membesar, karena jarang sekali si bungsu ini mau begadang hingga larut malam.
"Jangan cuekin mas atuh Ji," rengek Abin pada Adjie––si bungsu Dwija.
Abin yang semula sedang membaringkan tubuhnya di kasur Adjie itu pun mulai bangkit dan menghampiri Adjie yang masih duduk di meja belajarnya.
Ia merangkul dari belakang badan bongsor adiknya sembari mengelus pelan surai lembut si bungsu.