"kak satya dimarahin bunda, katanya gara gara main gak jelas. padahal kan gue juga main, tapi kenapa kak satya doang yang dimarahin deh?"
jaydan menatap langit langit kamarnya tanpa ekspresi, ponselnya sengaja ia biarkan terkulai disamping kepala dengan mode loudspeaker, karena tangannya sendiri malas menahan benda pipih itu tetap disamping telinganya.
detik jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam, satu setengah jam selepas senja terbenam dan sang mentari kembali pada singgasananya tergantikan rembulan yang mengambil alih posisi sang pusat menyinari bumi.
keempat temannya yang tersambung hanya saling berdehem satu sama lain, sahut menyahut tanpa berpendapat, membuat empu yang memulai percakapan merengut kesal, "apasih kok pada dehem dehem semua? mau jadi nisa sabyan?" delik pujangga termuda itu, dibalas sahutan malas oleh haikal.
"jadi kadal."
"oh."
jaydan mematikan panggilan grup itu sepihak, tidak memperdulikan spam notif masuk yang dapat dipastikan para dedemit itu merusuh di grup pejuang kelulusan.
setelahnya ia beranjak dari kasur, mengabaikan tubuhnya yang enggan bergerak sedikitpun, melawan rasa mager dan mulai melangkahkan kedua kakinya menuju lantai bawah. tujuan utamanya kini dapur, tentu saja untuk menemui sang ibunda tercinta yang pasti sedang membuat makan malam.
"bunda oh bunda, kenapa makan nasi?" jaydan bersenandung riang menggunakan nada lagu upin ipin yang seharusnya berlirik 'bangau oh bangau, kenapa makan ikan?' tapi tentu saja untuk apa jaydan menyanyikan lagu tidak jelas tentang pertanyaan kepada spesies makhluk hidup lain yang jelas berbeda dengan ras nya. sudah buang buang waktu, tidak mengerti pula, kurang kerjaan.
"heyo, bunda!" pemuda itu memeluk bundanya dari belakang begitu sampai di tempat yang ia tuju. sedangkan gisa yang sedang memindahkan semur daging dari katel ke piring nyaris menjatuhkan makanannya, menatap sang anak dengan alis mengerut bingung, "kalo jatuh gimana, dek? nanti kurang, buat kakak kamu juga." wanita paruh baya itu kembali melanjutkan kegiatannya tanpa mempedulikan kehadiran si bungsu yang mendusel di pundaknya.
"kapan selesainya bun?" tanya jaydan, melihat masih banyak bahan berserakan di atas kabinet, yang ia tau pastinya masih lama.
"bunda baru buat semur daging, belum nasi goreng ayam kesukaan kamu, sama salad buah juga buat pembuka nanti. ayah pulang cepet malem ini, sekarang lagi di jalan, sampe jam delapanan kayaknya." gisa memotong motong bawang diatas talenan, menyuruh putra kesayangannya duduk dikursi meja makan agar tidak menghambar pergerakannya.
dan jaydan menurut, apa sih yang tidak untuk bunda tersayangnya.
"bun."
gisa berdehem tanpa berbalik. pikirnya, mungkin jaydan akan melempar pertanyaan pertanyaan random lagi seperti biasa, sudah hafal dengan kelakuan anaknya.
namun kali ini, perkiraannya melesat jauh.
"bunda kenapa marahin kak satya tadi?"
wanita berparas ayu itu menghentikan kegiatannya sejenak, dalam hitungan detik membalikkan tubuhnya dan menatap jaydan dengan senyum lembutnya, "marahin gimana, dan? bunda cuma negur kakak kamu doang kok." ujarnya tenang, jaydan sendiri menatap bundanya tidak percaya.
posisi yang tadinya menopang wajah dengan satu tangan diatas meja kini ia ubah menjadi terlihat dihadapannya, netranya memicing penuh selidik, "jaydan denger bun, suara bunda kedengeran sampe kamar jaydan. lagian tadi kak satya satu cafe sama jaydan kok, disana juga ada jaydan."
bukannya menjawab, sang ibunda justru kembali membalikkan tubuhnya dan melanjutkan acara memasaknya, "jaydan bisa tolong ambilin bunda buah buahannya di kulkas? biar gak terlalu dingin pas dimakan nanti."
ah, bundanya mengalihkan topik pembicaraan, lagi.
jaydan terdiam sejenak.
lalu kakinya ia bawa melangkah menuju kulkas, mengambilkan beberapa buah yang bundanya minta. meletakkannya begitu saja di samping kabinet yang lain, sembari terus menatap bundanya.
"nda, jangan marahin kak satya lagi." tatapannya menyendu, "kasian kakak capek baru pulang, biarin kakak istirahat dulu, ya?"
gisa bungkam, tidak menanggapi kata kata jaydan.
"oh iya dek, bunda tadi beliin kamu jam weaker baru, yang kemarin kamu bilang susah bunyi, kan? ambil aja di ruang tamu, nanti bunda beresin sisanya." ia menatap jaydan sekilas dengan senyum tipis.
pasrah, jaydan hanya bisa menghela nafas pelan sembari menganggukkan kepalanya menurut, lalu berjalan cepat menuju ruang tamu. mengambil sebuah jam kotak bermltif monokrom dengan dentingan logam diatasnya.
kembali menjelajah menuju kamarnya, ia berhenti sejenak diambang pintu kamar miliknya, sedikit menoleh ke arah belakang melihat pintu kamar kakaknya yang sedikit terbuka, namun tidak nampak jelas bagaimana dalamnya.
"kenapa bunda selalu marahin kakak, ya? padahal jaydan juga sama kayak kak satya." ia bergumam sendiri, seolah sedang mengajak bicara pada kakaknya, "kak, kakak anaknya bunda juga kan?" ia kembali menyuarakan fikirannya, setelahnya menggeleng kencang, "nggak mungkin pungut juga sih, orang mirip ayah kok." timpalnya lagi kemudian, masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu.
barulah setelahnya, satya tersenyum kecil dibalik tembok pintu kamarnya. tentu ia mendengar semua yang adiknya katakan, dan itu semua memang benar apa adanya.
"capek rasanya, dek." ia menjawab.
"kamu gak akan pernah ngerasain. karena kamu anak kesayangan mereka, satu satunya. gak ada ruang buat kakak dikeluarga kalian."
dengan senyum samar yang jarang ia tunjukkan, niatan yang tadinya ingin turun mengambil kopi ia urungkan karena mendadak suasana hatinya berubah drastis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Fate || 2sung
Fanfiction❝ dan? bandung dan segala isinya... itu semua gak berarti kalau gak ada kamu disini. segala keindahannya tertutup dengan renungan kehadiran kamu, semua tempat serasa kosong hanya karena karena kehilangan sosok mataharinya. ❞ [[ sudah dirombak ]] ﹫xy...