17 : clone

22 0 0
                                    

"demi, gue gapapa mau lo jadiin samsak tinju atau tempat curhat 24 jam ikhlas gue mah. tapi lo jangan sekali kalinya kayak gini lagi ya? panik gue sumpah jay."

jaydan tersenyum menanggapi kalimat yang terlontar dari bibir naresh, satu tangan pemuda itu mengusap usap kepalanya, katanya biar gak sakit lagi. padahal jaydan melakukan hal itu karena berada dalam bawah sadarnya, jadi ia sendiri tidak sebegitu merasa sakitnya.

"gue gapapa anjir, lebay ah skip."

tuk!

haikal menjitak pelan kepala jaydan, "makan noh lebay, dikhawatirin bukannya makasih malah dikatain, kurang ajar." ia mendelik sinis, mencebikkan bibirnya kecil sembari mencomot kentang mcd hasil memoroti tuan mudanya.

"iya maaf, kelepasan dibilangin ih." yang termuda meringis kecil.

"tau gak jay." jevan memajukan tubuhnya ke arah jaydan, "tadi si naresh udah kayak orang kesetanan anjir langsung loncat dari kasur, untung laptopnya gak ikut jatoh. terus lari larian turun tangga padahal masih koloran doang. sampe mamah aja heran liatnya." ia tertawa kecil, melirik naresh yang menunjukkan wajah menyebalkannya.

jaydan menghela nafas kecil. diam diam ia bersyukur, setidaknya ia masih memiliki keempat sahabatnya ini.

"oh iya dan, tadi chetta udah denger dari ikal pas pesen mcd nya, kok jaydan bisa mikir gitu sih? jaydan kan anak kesayangannya chetta, jangan kayak gitu ah, nanti chetta sedih." pemuda manis itu mengerucutkan bibirnya, menunduk sembari memainkan kedua jemarinya.

fikirannya kembali pada kala haikal dengan lancar mengatakan saat chetta tertidur, jaydan bilang bahwa ia menyesal telah dilahirkan ke dunia.

menurut chetta walau jaydan merasa tak dianggap oleh satya, setidaknya jaydan masih memiliki mereka. mereka sahabat, bukan? chetta merasa sedikit sakit hati mendengar kalimat itu, ditambah lagi jaydan menangis sesegukan kala ia terbangun.

untungnya tadi chetta tidak ikut menangis.

"dih bayi kok punya anak." jevan menggumam, namun dapat terdengar oleh empunya, sehingga pemuda manis itu melempar kotak tissu tepat dijidat yang lebih tua.

"chetta ih! ntar benjol!" protes jevan, namun tidak dipedulikan oleh chetta, netra cokelat hazelnya terus menatap lurus pada paras sang sahabat.

memperhatikan wajah sembab itu seksama, bagaimana sorot mata yang tadinya redup perlahan kembali memancarkan cahayanya.

jika diizinkan, bolehkah jika ia terus menjaga binar itu agar tidak meredup? sungguh, chetta tidak mau sahabatnya itu terus terlarut dalam kesedihan hanya karena kakak lelakinya.

"jay, gue tadi mikirin kalimat ini sebelum kesini." haikal menyahut setelah selesai membereskan bekas makannya.

yang tersebut namanya menolehkan atensinya, mengangkat kedua alisnya sebagai gestur bertanya sebelum membuka suara, "apa?" tanyanya.

"jadi gini," haikal berdehem pelan. "gunanya sahabat bukan cuma ada disaat seneng doang kan," ia menjeda, diangguki keempat pemuda lainnya.

"jadi, kalo lo sedih, lo bisa anggap kita sebagai badut, jay. lepas topeng lo, terus ketawa bareng kita. dengan senang hati kita bakal menjadi hiburan untuk lo kok." haikal tersenyum kecil, "gak selamanya lo bisa mendem semuanya sendirian, dan gue harap, disaat lo melepas topeng itu, lo gak segan buat kasih tau kita. biar saat lo nangis, kita ada disana untuk menjadi sandaran buat lo."

diakhiri elusan lembut di surai hitam pekat jaydan, semua pusat atensi kini terfokus pada jaydan yang bungkam ditempatnya.

tak lama, raut wajah itu kembali berubah. jaydan menundukkan kepalanya, satu tangannya naik menutupi kedua netranya. terkekeh pelan dengan air mata yang perlahan turun dari pelupuk matanya.

Our Fate || 2sungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang