4. Yang Lalu Datang

720 65 29
                                    

"Gue udah nggak pengen ada yang berubah lagi. Kayak gini terus juga nggak papa."

"Kenapa?"

"Ada lo."

"Gue aja?"

"Buat sekarang lo udah lebih dari cukup."

"Ka, lo bakal pergi lagi nggak?"

"Bukan gue yang tau kapan gue pergi, Ram."

Terkadang Arka merasa lebih senang jika tidak ada orang ketika ia menginjakkan kakinya di rumah. Namun pagi itu ia menemukan ayahnya yang duduk di ruang depan sembari membaca buku. Arka memelankan langkahnya sebab ia selalu segan setiap bertemu dengan lelaki yang sangat dihormati di rumah itu.

"Papi nggak ke kantor?" tanya Arka hati-hati.

Suara tarikan napas kemudian buku yang ditutup sebelum diletakkan di atas meja. Lelaki yang sudah berada di penghujung kepala empatnya itu masih menampilkan jejak paras tampannya saat usianya muda dulu. Mirip seperti Arka.

"Dari mana Arka, pagi-pagi begini baru pulang?"

Pertanyaannya tenang cenderung enteng. Tidak seperti ibunya yang selalu terdengar menyelidik. Tapi semua orang di rumah itu tahu sang ayah selalu menyamarkan emosi di balik pembawaannya yang kalem.

Arka tanpa sadar menelan ludahnya sebelum menjawab. "Dari tempat Biru buat ngerjain tugas."

"Biru siapa?"

Ayahnya memang tidak pernah perhatian dengan lingkup pertemanan Arka sejak dulu. Yang menjadi fokusnya hanyalah apa yang menjadi prestasi Arka di sekolah. Jadi teman dekat Arka seperti Hanan pun tak pernah diingat oleh ayahnya.

Belum sempat Arka menjawab pertanyaan sang ayah, sebuah suara yang menyela atmosfer kaku di ruangan itu mengagetkan Arka.

"Biru apa Biru?" sindir ibunya. Wanita itu sudah melipat tangannya sambil menyandarkan sisi tubuhnya ke dinding ruangan.

"Biru, Mi. Kemarin Arka udah bilang ke Mami juga, kan?" Arka berusaha membela diri meskipun telapak tangannya mulai basah akibat rasa cemas.

Ibunya menghela napas keras lalu menggelengkan kepalanya. Satu tangannya terbebas untuk menunjuk ke arah Arka.

"Makin lama kamu jadi makin berani buat bohong, ya? Siapa yang ngajarin? Hanan itu, kan?"

"Ck, apa sih Mami?" Arka mulai kesal tiap nama Hanan diseret ke topik pembicaraan. "Hanan nggak ngapa-ngapain. Kenapa dibawa-bawa?"

"Kamu dari tempatnya Hanan, kan?" seru ibunya. "Mami kemarin telfon ke rumah Biru buat nanyain kamu tapi Biru nggak tau apa-apa. Nginep di mana kamu kalau nggak di tempat Hanan??"

Rahang Arka mengeras mendengar ucapan ibunya. Ia paling tidak suka ibunya selalu beranggapan buruk tentang Hanan sedangkan ia tidak tahu-menahu apapun tentang cowok itu. Tidak tahu apa yang sudah dilakukan Hanan untuk Arka, yang bahkan tidak pernah dilakukan oleh orangtuanya sendiri.

Suara dentingan cangkir yang beradu dengan meja kaca mengalihkan perhatian dua orang yang sedang berdebat, ayahnya sudah beranjak berdiri lalu melangkah masuk ke dalam. Ia sempat berucap pelan namun tandas saat melewati istrinya.

"Nggak perlu ngurusin masalah yang nggak penting. Urusin Angga yang besok katanya mau mulai penelitian."

Tidak penting. Hal itu sebenarnya lebih menyakitkan, bagaikan eksistensinya tidak dianggap. Arka tahu ayahnya hanya melihat ke arahnya saat ia berhasil mencapai sesuatu yang termasuk dalam daftar keinginan ayahnya. Selain itu dirinya tidak kasat mata.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang