16. Menyerah Kepada Laut

608 46 82
                                    

"Dari awal memang nggak ada yang mau kamu lahir."

Ruangan itu mendadak disergap oleh sunyi yang menyesakkan. Dada Arka terasa begitu sesak. Pandangannya mengabur dan kepalanya bagai dijatuhi beban berat yang tak mampu ia tahan. Ia menatap tajam ke arah ayahnya yang masih berusaha mengendalikan emosinya setelah melontarkan kalimat itu padanya. Pandangannya lalu beralih ke arah ibunya yang terlihat sangat pucat, kepala wanita itu menggeleng pelan. Terakhir ia melihat kakaknya, yang rupanya sama terkejutnya dengan dirinya. Atau hanya topeng belaka, Arka tidak tahu. Arka tidak peduli. Ia muak berada di tengah keluarga ini. Apa mereka masih bisa disebutnya keluarga?

"Terus kenapa biarin Arka lahir?" desis Arka tajam. Suaranya sarat akan luka dan kecewa. Ia membalikkan badannya dan melangkah cepat menaiki tangga. Panggilan kakaknya tak ia acuhkan.

Pintu kamar ditutup dengan bantingan. Arka melempar tasnya ke atas meja hingga menabrak lampu belajarnya. Tak peduli lampu itu terguling ke lantai dan pecah. Arka berdiri di tengah-tengah kamarnya dengan nafas yang memburu. Gumpalan emosi bersarang di dadanya tapi ia tidak ingin menangis. Menangis hanya membuatnya merasa semakin lemah. Arka benci hidupnya. Sayup-sayup ia mendengar perdebatan di lantai bawah.

"Papi ngapain bilang gitu sama Arka!?"

"Anak itu udah kelewatan! Udah nggak tahu aturan!"

"Papi udah janji nggak bakal bahas masalah itu! Mami juga udah berusaha buat didik Arka, Papi nggak perlu ngomong kayak gitu!"

"Dia harus tahu posisinya di keluarga ini. Dan kamu juga harus ingat. Saya nggak minta kamu lahirin dia."

"Papi! Semua urusannya Arka udah Mami yang urusin, kan? Mami nggak pernah nuntut apa-apa dari Papi buat Arka, Mami cuma-"

"Omong kosong! Semua biaya hidup dan sekolah dia, siapa yang nanggung kalau bukan saya? Kalau saya nggak urusin dia, udah dari dulu hidupnya terlantar sama kamu yang nggak akan bisa menghidupi anak itu!"

Arka menutup kedua telinganya rapat-rapat namun percakapan itu tetap terdengar. Ia berharap telinganya tuli saat itu juga karena setiap kalimat yang muncul dari mulut orang tuanya bagaikan sembilu yang memberi torehan semakin dalam pada hatinya. Ini bukanlah mimpi buruk di mana Arka dapat terbangun dan terbebas. Semuanya adalah nyata. Ia tidak diinginkan di keluarga ini.

Pintu kamar Arka terbuka perlahan. Angga sudah ada di sana dengan raut wajah yang sulit diartikan.

"Arka."

"Keluar, Ga."

Angga tercekat. Ia tidak bisa meninggalkan Arka sendirian. Namun adiknya tampak marah dan kecewa pada semuanya, termasuk dirinya juga.

"Harusnya lo kasih tau gue kalo emang gue nggak diharepin di keluarga ini. Dari awal harusnya lo bilang!"

"Arka, gue sama sekali nggak tau apa-apa."

"Lo lebih dulu ada ketimbang gue. Lo harusnya tau kalo mereka nggak mau gue ada. Kenapa gue harus dilahirin kalo mereka nggak butuh gue!?"

Angga mengepalkan tangannya. Tak ada jawaban yang bisa diberikannya untuk Arka sebab ia tak juga dapat membantah apa yang keluar dari mulut ayahnya. Kenapa sosok yang begitu dihormatinya itu harus mengatakan sesuatu yang tidak pantas kepada anaknya sendiri?

"Semua yang diomongin Papi itu nggak bener, Ka."

Tetapi Arka tidak yakin. Begitu pula Angga. Upaya untuk memberikan tenang pada Arka hanya akan menjadi usaha yang sia-sia.

"Keluar dari kamar gue, Ga. Gue nggak mau denger apa-apa lagi."

Sebagai seorang kakak, siapa yang tak remuk hatinya ketika ia melihat adiknya berada pada titik terendah dan tak ada sesuatu yang dapat dilakukannya untuk menariknya dari keterpurukan. Ia membiarkan Arka sendiri di kamarnya dengan pintunya yang kini terkunci rapat. Arka tidak ingin seseorang meraihnya. Arka tidak ingin disakiti lagi.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang