13. Piano

544 46 63
                                    

Meski waktu yang dihabiskannya untuk urusan pekerjaan melebihi waktu yang dibutuhkannya untuk berdiam di rumah akhir-akhir ini, naluri seorang ibu tetaplah tercurah untuk anaknya. Sejak dirinya tiba di rumah malam itu, ia langsung disambut oleh suasana yang terasa asing. Bukan karena ia tidak menemukan anak semata wayangnya di ruang depan. Hanan hampir selalu mendekam di kamarnya, jadi itu bukan sesuatu yang tidak biasa. Jarang sekali anak lelakinya menyambut kedatangannya ke rumah.

Wanita itu melangkah menuju dapur, namun ruangan itu gelap. Dinyalakannya lampu untuk menerangi sudut-sudut ruangan meski ia tidak menemukan apapun di sana selain dapur yang masih rapi seperti terakhir kali ia meninggalkannya. Kemudian ia beralih untuk melangkah menuju ruangan-ruangan lain sebelum tujuannya berakhir pada kamar anak lelaki satu-satunya. Diketuknya pintu kamar Hanan seperti biasa karena anaknya itu selalu mengunci kamarnya.

“Hanan,” panggilnya cukup keras. Biasanya suara dari game yang sedang dimainkan Hanan akan terdengar hingga keluar ruangan tapi kali ini tak ada suara apapun yang tercipta.

Setelah memanggil namanya sekali lagi, wanita itu membuka pintu kamar Hanan yang rupanya tidak terkunci. Ia membiarkan dirinya masuk.

Ruangan itu begitu gelap hingga ia tak dapat melihat apapun. Segera dirabanya saklar lampu di dinding kemudian membiarkan cahaya lampu memenuhi ruangan yang gelap gulita itu. Ibu Hanan mengerutkan keningnya samar melihat seonggok tubuh terbungkus selimut asal-asalan dengan posisi tengkurap di atas ranjang. Matanya lalu memindai ke sekeliling kamar yang keadaannya berantakan. Sebuah tanda tanya besar akhirnya muncul di kepalanya. Seisi rumah masih rapi bagai tak terjamah kecuali kamar yang ditempati anaknya ini.

“Hanan, bangun,” ucap ibunya pelan seraya menepuk lembut bahu Hanan. Ia tak memakai tenaga ekstra untuk membangunkan Hanan seperti biasa, selain karena hari sudah malam namun juga karena ia khawatir jika anaknya sedang sakit.

Tangannya menyibak rambut yang jatuh menutupi dahi Hanan yang masih tak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan segera terbangun. Menyentuhkan punggung tangannya pada dahi anaknya, wanita itu mencoba memeriksa apakah Hanan benar-benar sakit. Namun badan Hanan tidak terasa hangat. Sang ibu akhirnya membiarkan anaknya tertidur pulas setelah membenarkan selimutnya. Tepat saat wanita itu sampai di ambang pintu kamar, suara Hanan terdengar pelan memanggilnya.

“Mah…”

Ibu Hanan menolehkan kepalanya untuk mendapati Hanan yang terjaga meski matanya masih berusaha menyesuaikan pencahayaan di kamarnya yang tiba-tiba. Segera diputarnya kembali badannya dan melangkah menghampiri sisi ranjang Hanan.

“Udah makan belum kamu?” tanya ibunya.

Hanan menggaruk kepalanya sembari mencoba bangkit dari tidurnya. “Hmm, udah kayaknya. Lupa.”

“Kok, bisa lupa? Kamu ngampus, nggak, tadi? Apa bolos?” kejar ibunya.

“Masuk, Mah…” jawab Hanan malas. “Mamah barusan balik?”

“Iya.” Ibu Hanan duduk di sisi ranjang, memeriksa suhu tubuh anaknya sekali lagi. “Kamu sakit? Mamah ngecek semua ruangan masih rapi tapi kamar kamu doang yang berantakan. Selama Mamah tinggal kamu nggak keluar kamar?”

“Hanan nggak sakit, kok.” Hanan meraih tangan ibunya dari dahinya lalu menurunkannya perlahan.

“Terus kenapa?”

“Ya, nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa, kok, lemes gitu. Sakit hati?” sindir ibunya.

Hanan mendenguskan napas lalu berbaring kembali memunggungi sang ibu. “Apaan, sih, Mah?”

“Lho, Mamah kan cuma nanya. Kalo salah nggak usah ngambek gitu, dong.” Ibu Hanan mengulas senyum geli melihat tingkah anak lelakinya.

Hanan masih terdiam hingga ibunya kembali angkat bicara. “Kenapa, to? Kalau ada apa-apa, ya, ngomong. Biasanya cerewet ngomongin ini-itu, tiba-tiba lemes kayak orang puasa setahun. Galau kenapa?”

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang