21. Antara Mimpi dan Realita

518 42 39
                                    

Buku-buku jarinya terasa beku menggenggam milik Arka. Menahan agar tak lepas darinya. Raut wajah Arka begitu datar seakan tanpa emosi meski ia baru saja mengucapkan kalimat yang membuat Hanan harus terus-terusan bertanya.

Kenapa? Kenapa ia harus pergi?

Kelopak mata Hanan terbuka dan ia menemukan langit-langit kamar tepat di hadapan sepasang mata. Kelegaan memenuhi rongga dadanya ketika ia menyadari bahwa ia baru saja terbangun dari mimpi buruk. Hanan menoleh ke sisi ranjangnya untuk mendapati seseorang yang tertidur pulas di sebelahnya. Segera ia menutup celah di antara keduanya saat lengannya melingkari tubuh cowok yang terbalut selimut itu. Hanan membenamkan wajah di ceruk lehernya sembari ia memeluk cowok itu dari belakang.

Merasa lehernya ditelusuri oleh permukaan bibir yang sesekali berhenti untuk mendaratkan kecupan lembut, Arka menggeser tubuhnya sambil mengerang pelan.

“Nan…”

“Hmm?”

Hanan hanya bergumam pelan, tak berniat untuk benar-benar mendengarkan Arka yang akhirnya terjaga dari tidurnya. Ia masih sibuk menciumi leher Arka sembari mengetatkan dekapannya, mempersulit Arka untuk bergerak.

“Hanan,” panggil Arka lagi, kali ini lebih keras. “Lepas bentar.”

Hanan menghentikan dirinya demi mendengar permintaan Arka yang kemudian membalikkan badan untuk menghadap Hanan. Kedua mata indah itu menatap ke dalam mata Hanan, berkomunikasi tanpa suara. Jemari Arka mulai menelusuri garis wajah Hanan. Berawal dari dahi, kedua alis yang menaungi sepasang mata elangnya, hidung yang terpahat sempurna, garis rahang yang begitu tajam, dan berakhir pada sepasang bibirnya. Arka membiarkan telunjuknya bertahan lebih lama di sana, bermain-main dengan permukaan kulit yang menghiasi lehernya dengan ciuman beberapa saat tadi. Tak berapa lama Arka mengembalikan ciuman itu melalui bibirnya. Mengecup singkat bibir Hanan yang masih terasa dingin.

"Arka, gue boleh nanya sesuatu?"

Arka diam, membiarkan Hanan mengartikan heningnya untuk melanjutkan kalimatnya.

"Lo kenapa akhirnya nerima gue?"

Ada sedikit keresahan yang tersimpan dalam pertanyaan itu. Hanan menginginkan kejujuran, pun ia takut jika jawaban yang Arka berikan tak sanggup dipikulnya.

Ketika Arka masih belum bersuara, Hanan kembali mengajukan tanya.

"Waktu itu lo bilang, ada yang harus lo pertimbangin. Gue boleh tau itu apa?"

Ibu jari Arka masih mengusap lembut alis Hanan sementara dirinya mengumpulkan tekad untuk memberi jawaban.

"Hal sepele yang bagi gue cukup berat, Nan," ucap Arka. Ketika Hanan mulai melebarkan telinganya mendengar pengakuan Arka, ia melanjutkan, "Gue masih takut sama pandangan orang tua gue ke gue, kalo akhirnya gue milih pacaran… sama lo."

Hanan terhenyak. Ia tak pernah benar-benar memikirkan hal itu. Dikaruniai seorang ibu yang sangat membebaskan namun juga menghargai semua pilihannya membuat Hanan tak perlu mengkhawatirkan banyak hal.

Tetapi Arka menjalani kehidupan yang jauh berbeda dengannya. Ia tak bisa memaksakan kehendak dirinya pada Arka. Cowok itu harus selalu melangkah dengan sangat hati-hati. Seharusnya Hanan menyadari hal ini. Tetapi ia luput memperhatikan.

"Tadi sebelum gue pergi buat nemuin lo, gue pamit sama nyokap gue." Arka merasakan punggungnya diusap dengan lembut. "Itu pertama kalinya dia nggak marah saat gue nyebut nama lo."

Hanan menarik Arka lebih dekat dalam pelukannya. Memastikan cowok yang sudah berganti status menjadi pacarnya itu merasa aman sebelum ia membisikkan sesuatu.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang