6. Escape

658 66 40
                                    


Malam hari adalah waktu untuk berkumpul bersama di meja makan saat semuanya selesai dengan rutinitas masing-masing. Angga ikut bergabung setelah mengganti pakaiannya sepulang kegiatan di luar. Sudah ada dua orang yang mengisi meja makan itu, tersisa seorang lagi yang belum juga terlihat batang hidungnya.

“Arka ke mana, Mi?” tanya Angga kepada ibunya. Adiknya itu biasanya selalu hadir di meja makan setiap mereka berkumpul untuk makan malam.

“Di kamar paling.” Ibunya menjawab enteng. “Dari kemarin kayaknya sibuk di kamar terus. Bagus, deh. Udah nyadar habis Mami tegur dia yang main terus sama Hanan kayaknya.”

Angga tidak menanggapi lagi. Tidak ingin ada perdebatan di atas meja makan jika ia mulai buka suara. Sebagai gantinya ia mengambil piring dan menyendokkan nasi ke atasnya sembari berpikir untuk menengok Arka di kamarnya nanti.

“Sialan.”

Hanan melempar ponselnya ke atas meja setelah gagal berkali-kali mencoba menghubungi Arka. Pasca kejadian tempo hari Arka memilih untuk mengabaikan semua panggilan dari Hanan dan menolak berbicara dengannya. Hanya karena satu nama yang memancing kecurigaan Hanan.

“Rama siapa?”

“Kalo gue jawab emangnya lo bakal berhenti nanyain soal itu lagi ke depannya?”

Hanan menarik satu tangan Arka. “Gue berhak tau.”

“Berhak?” Arka mengucapkannya dengan pahit yang sangat terasa di dalam hati. Keduanya cukup tahu bahwa hubungan mereka ada di zona abu-abu. Tak ada batasan yang jelas apalagi hak yang dimiliki oleh masing-masing.

“Lo ketemu sama si Rama-Rama ini padahal tadi lo bilang ke gue lo sendirian. Harus banget bohong ke gue? Mau nyembunyiin apa?”

Inilah yang ingin Arka hindari dengan tidak menceritakan soal Rama pada Hanan. Sepanjang waktunya yang dihabiskan dengan Hanan, cowok itu akan selalu mendengarkan cerita Arka. Namun semua itu berubah ketika ada pihak lain yang tidak Hanan ketahui identitasnya mendekati Arka. Meskipun Hanan sendiri belum tahu apa niat orang tersebut kepada Arka. Ia akan menutup telinga yang sebelumnya selalu mendengar. Ada pertahanan yang dibangun Hanan dan Arka cukup tahu apa yang menjadi dasarnya, namun tetap tak mengurangi rasa sakitnya setiap kali Hanan melakukan itu.

“Hanan, dengerin gue.” Arka mencoba mengatakannya dengan tegas. Ia hanya ingin menjelaskan sekali saja pada Hanan tentang masalah ini. “Rama, itu temen gue-”

“Temen apa?” potong Hanan.

“Temen lama. Sebelum gue pindah ke sini gue temenan deket sama Rama. Kebetulan dia lagi main ke sini dan pengen ketemu karena kita udah lama nggak ketemu.”

Hanan masih menatap penuh selidik pada Arka, suaranya rendah ketika ia melempar pertanyaan lagi. “Terus kenapa lo nggak bilang gue?”

Arka berdecak keras sembari mengibaskan tangannya ke udara. “Karena gue tau lo bakal begini? I saved both of us, actually. Biar lo nggak kepikiran aneh-aneh, juga biar gue nggak perlu jelasin hal yang sebenernya nggak perlu dipermasalahin.”

Hanan menggelengkan kepalanya, membiarkan kakinya mengambil langkah ke belakang untuk menghempaskan diri ke atas sofa lagi. Pikirannya rumit. Fakta bahwa Arka berbohong padanya sudah mulai menghancurkan apa yang berusaha ia bangun dalam batinnya. Sialnya, kata-kata Adrian juga tak henti terputar dalam kepalanya berulang-ulang.

“Bilang aja kalo lo udah capek, Ka.”

Hanan berbisik selirih angin namun telinga Arka dapat menangkap jelas apa yang terucap dari mulut Hanan. Arka membuka dan mengatupkan bibirnya sebab ia kehilangan kata-kata untuk bereaksi untuk sepersekian detik sebelum rasa frustrasinya mulai mengambil alih.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang