17. Rama dan Edgar

560 41 67
                                    

Menjalani hidup dengan sederhana tanpa memaksakan kehendak adalah sesuatu yang sudah melekat dalam diri Rama sejak kecil. Jika ia mendapatkan hal-hal yang baik, ia akan menerimanya dengan senang hati. Dan jika ia mendapat sesuatu yang tak sejalan dengan keinginannya, ia tak juga menjadi musuh atas kehidupan. Begitu pula ketika ia bertemu Arka.

Siang yang terik itu membawanya untuk mampir ke warung, membeli seplastik penuh es teh. Rama duduk sejenak menikmati minumannya sambil sesekali menyeka peluh di dahinya. Matanya kemudian menangkap seorang anak yang duduk tak jauh darinya. Memakai seragam dengan nama sekolah yang sama.

Rama tak mengajaknya berbicara atau apapun, sebab anak itu tampak serius menekuni buku catatannya. Hingga cairan pekat berwarna gelap menetes ke halaman bukunya. Rama melebarkan matanya kaget. Buru-buru ia menyambar beberapa helai tisu dari atas meja dan menyodorkannya ke depan anak itu.

"Ini."

Anak yang sedang menyeka darah dari hidungnya dengan punggung tangannya itu menoleh ke arah Rama. Ragu-ragu ia menerima lembaran tisu dari Rama.

"Makasih," ucapnya pelan.

Rama memperhatikan anak itu yang menyumbat lubang hidungnya dengan tisu, menghentikan aliran darah yang menetes. Tetapi masih melanjutkan kegiatannya membaca buku.

"Berhenti dulu belajarnya. Emangnya nggak pusing?" celetuk Rama.

Anak itu tampak kaget oleh celetukan Rama. Entah karena komentar itu datang dari orang asing atau karena isi komentar itu sendiri.

Mungkin karena rikuh anak itu perlahan menutup bukunya.

"Jangan disumbat kayak gitu," ucap Rama kemudian. Ia sudah beranjak mendekati anak itu untuk membenarkan posisi duduknya. "Agak majuan dikit badannya. Biar darahnya nggak masuk ke tenggorokan. Tisunya buat nampung aja, jangan diteken ke lubang hidung."

Meskipun pada awalnya anak itu terlihat bingung oleh perlakuan Rama, tetapi ia menuruti perkataannya juga. Dibiarkannya Rama memberikan instruksi padanya.

"Permisi, ya," ucap Rama meminta izin sebelum menyingkirkan tangan anak itu yang menutupi hidungnya kemudian dengan ibu jari dan telunjuknya pelan-pelan dijepitnya ujung hidung anak itu. "Biar cepet berhenti."

Selama kurang-lebih sepuluh menit Rama menutup aliran nafas di hidung anak itu, memaksanya untuk mengambil oksigen melalui mulut. Tetapi itu yang dipelajarinya dari ayahnya dulu saat hidungnya mimisan.

Hati-hati Rama melepas jepitannya kemudian memeriksa apakah masih ada darah yang mengalir.

"Udah, kan?" tanyanya.

Sempat diliriknya badge nama yang terjahit di seragamnya.

Arkhafa R.

Rama tidak akan menyangka bahwa senyum anak itu sebelum pergi bukanlah terakhir yang dapat dilihatnya. Di hari-hari berikutnya senyum itu terus hadir meski akhirnya Rama-lah yang harus mengusahakan senyum itu agar tetap ada.

Entah bagaimana perasaan itu mulai tumbuh dan harus Rama rawat dalam diam sebab ia tak ingin kehilangan apa yang mereka punya saat itu. Tetapi Arka lebih pintar dalam membaca sesuatu. Arka selalu lebih pintar darinya.

"Ram, mau nggak, jadian sama aku?"

Lontaran pertanyaan tanpa aba-aba itu hampir membuat Rama tersedak kuah soto yang sedang dinikmatinya di kantin sekolah bersama Arka.

"Gimana?"

Rama tak melewatkan semburat merah yang muncul di pipi Arka meski cowok itu menundukkan kepalanya menatap mangkuk sotonya sendiri.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang