14. Here's Our Perfect

572 46 50
                                    

Meski tak diperlihatkan dan telah ditegaskan bahwa dirinya tidak peduli, tapi nyatanya mendapati Hanan bersama Edgar di ruangan itu beberapa hari lalu masih mengusik pikiran Arka. Ia tahu Hanan memang cukup dekat dengan Edgar semenjak pertemuan pertama mereka yang tak disengaja itu. Beberapa kali pula Hanan mengiyakan ajakan Edgar untuk sekedar keluar mencari angin atau entah apapun itu. Tetapi pasca renggangnya hubungan dirinya dengan Hanan, ia memperhatikan Edgar menjadi semakin sering menemui Hanan di kelasnya. Arka benci mengakuinya, tapi ia memperhatikan.

Penyangkalan Hanan tentang hubungannya dengan Edgar kala itu hanya berarti dua hal bagi Arka. Yang pertama, Hanan tidak tahu-menahu apabila Edgar memang sedang mendekatinya. Dan yang kedua, Hanan sengaja menutupi hubungan mereka berdua untuk suatu alasan yang belum Arka ketahui.

Pintu kamar Arka diketuk beberapa kali sebelum kakaknya muncul dari balik pintu. Angga sudah memakai setelan jas yang rapi berikut sepatu pantofelnya yang mengkilat.

"Ka, setengah jam lagi siap di depan, ya. Ada undangan acara dari kantor Papi."

Arka yang tengah membaca jurnal untuk tugas kuliahnya mengangkat satu alisnya.

"Gue ikut?" tanyanya heran. Terakhir kali ayahnya melibatkannya dalam acara kantor, Arka tak mendapat pengalaman yang baik. Ia tidak ingin mengingatnya lagi, terlebih mendatangi acara seperti itu untuk kesekian kalinya.

"Undangannya buat semua anggota keluarga. Lo harus ikut, Ka."

"Gue nggak usah ikut. Percuma juga. Gue dateng atau nggak, nggak ada bedanya."

"Ka-"

"Lo inget acara kantor Papi dua tahun lalu? Inget apa kata mereka soal gue? Inget apa yang Papi omongin soal gue?"

Angga tak segera menanggapi. Ia berjalan menuju ranjang adiknya dan duduk di tepinya. Angga tahu apa yang terjadi saat itu karena ia juga ada di sana menyaksikan semuanya. Penghakiman tersirat yang ditujukan kepada Arka, juga ayahnya yang tak memberikan pembelaan apapun meski Arka adalah anaknya. Angga tidak dapat berbuat banyak saat itu sebab ia adalah wajah dari keluarganya yang dituntut untuk berkelakuan baik dan sesuai dengan apa yang mereka sebut standar kehidupan. Memberikan pembelaan pada Arka sama saja membunuh karakternya di depan berpasang-pasang mata itu.

"Itu udah lama, Ka. Udah dua tahun. Mereka pasti udah lupa, gue yakin."

"Tapi gue nggak lupa, Ga."

"Ka, ikut aja, ya? Gue janji bakal back up lo kalo ada apa-apa. Gue nggak bakal diem aja," bujuk Angga. "Yang diundang nggak cuma Papi, Mami, dan gue. Tapi sama lo juga. Gue nggak mau lo ngerasa left out. Lagipula nggak enak dilihat sama rekan kerjanya Papi kalo kita datengnya nggak lengkap."

Arka mengangkat sudut bibirnya, mendengus pelan.

"Lo, tuh, nggak beneran peduli sama gue. Lo peduli sama image keluarga ini."

"Arka..."

"Kalo lo peduli sama perasaan gue, harusnya lo nggak maksa gue buat dateng. Lo ngerti gimana mereka mandang gue, Ga."

Angga menghela napas keras. Diangkatnya satu tangannya untuk menenangkan Arka.

"Oke, gue ngerti." Angga merangkul bahu Arka, menepuk pelan lengannya. "Kalo gitu, lo nggak usah dateng buat menuhin undangan. Tapi gue ngajak lo, sebagai adek gue. Lo mau nemenin gue, kan?"

Kalimat kakaknya membuat Arka sedikit melunak. Jika dipikir-pikir, sebenarnya tak hanya Arka yang menanggung beban. Mungkin malah beban di bahu Angga yang lebih berat untuk tetap memenuhi semua ekspektasi ayahnya tanpa pernah mengeluh.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang