Siang itu cukup terik, membuat pandangan ke arah luar kaca mobil diliputi gelombang panas. Angga tengah berhenti di perempatan jalan, menunggu rambu lalu lintas berubah menjadi hijau. Ayahnya duduk di jok sebelahnya sambil menekuni ponselnya. Beberapa saat yang lalu Angga diminta untuk menjemput sang ayah dan mengantarkannya ke suatu tempat.
Lamunan Angga terusik ketika seorang anak dengan alat musik sederhana, kumpulan tutup botol bekas yang disatukan dengan paku yang menancap pada sepotong kayu, tiba-tiba muncul tepat di sisi jendelanya. Ia segera meraba saku kemejanya untuk mencari sepeser uang yang dapat diberikan untuk anak lelaki berusia kurang-lebih sepuluh tahun itu. Lipatan uang kertas bernominal lima ribu ditemukannya dalam saku. Angga menurunkan kaca jendelanya hendak memberikan uang itu ketika ayahnya menghentikan aksinya.
"Nggak usah, Angga."
Angga bersitatap dengan anak lelaki itu yang kemudian terlihat canggung. Anak itu masih memainkan alat musiknya dan Angga menyodorkan uang ke dalam genggaman tangannya.
"Makasih, Kak," ucap anak lelaki itu sebelum berlari ke tepi sebab lampu hijau sudah menyala. Angga sempat melempar senyum kecil padanya sebelum menutup kaca jendela dan menjalankan mobilnya lagi.
"Papi."
"Hm?"
"Papi belum ngobrol lagi sama Arka?"
Pertanyaan Angga menghentikan lelaki itu dari kesibukannya membaca tulisan di layar ponsel. Tatapannya lurus ke jalanan di depannya, namun ia tak segera menjawab.
"Pi, Angga bukannya mau ikut campur atau ngatur Papi. Tapi Angga nggak bisa liat adek Angga sedih terus." Angga mengetatkan genggamannya pada kemudi mobil. "Apalagi Angga harus liat Mami diem-diem nangis di kamar tiap nggak ada Papi."
Hela napas keras terdengar dari kursi sebelah Angga. Ayahnya tampak bereaksi untuk kalimat terakhir yang terucap dari bibir Angga.
"Angga, kamu harus tahu kalau Papi nggak pernah berbuat sesuatu tanpa ada pemicunya," tegas ayahnya. "Kamu liat sendiri, Angga. Kamu juga ada di sana waktu adik kamu bikin malu Papi di depan semua orang. Tapi, apa dia ada niatan buat minta maaf? Apa dia merasa bersalah?"
Angga menginjak gas lebih dalam. Rahangnya mengeras mendengar ucapan ayahnya.
"Arka kayak gitu juga ada pemicunya," desis Angga. "Tapi apa perlu Papi harus bilang sesuatu yang nyakitin perasaan Arka? Pi, Angga nggak peduli apakah Papi mau nerima Arka atau nggak, tapi Angga sayang sama dia. Angga sayang sama keluarga ini."
"Angga, pelanin mobilnya," perintah ayahnya ketika Angga masih belum mengurangi kecepatan mobil. Ia dapat melihat rambu lalu lintas yang baru saja berubah menjadi warna kuning. "Angga!"
Refleks Angga menginjak remnya dalam-dalam hingga mobil berhenti mendadak dengan bunyi decitan ban yang beradu dengan aspal. Keduanya terhempas di jok masing-masing, beruntung masih ada sabuk pengaman yang menahan tubuh mereka.
Angga mengatur napas dan detak jantungnya yang bergemuruh. Lampu warna kuning berubah menjadi merah. Angga memejamkan matanya sembari memukul pelan setir mobilnya. Lelaki di sebelahnya hanya memperhatikannya tanpa suara.
ㅡ
Arka turun dari boncengan motor Hanan saat mereka sampai di depan rumah Arka. Rambutnya tertiup angin sore ketika ia melepas helm dari kepalanya.
"Udah sana," usir Arka halus ketika dilihatnya Hanan masih bertahan di atas motor. Memandanginya dengan senyum yang membuat Arka merasa jengah.
"Bentar." Hanan merogoh sesuatu dari kantong depan tas ranselnya lalu menyodorkannya pada Arka. "Nih."
KAMU SEDANG MEMBACA
ÉVADER
Fanfictionㅡ ÉVADER. Berlari dari segala hal yang menjadi jerat, Hanan dan Arka menemukan tempat untuk satu sama lain. Seiring bergulirnya waktu, lengan yang selalu memberi peluk rupanya tak juga henti memberi remuk. [part of Jejak di Antara Semesta series]