10. Menjadi Abu

665 59 35
                                    

(cw // suicidal thought)

“Ram, gue boleh nginep dulu malem ini, nggak? Gue baliknya besok pagi aja.”

Arka bertanya sekembalinya mereka dari berjalan-jalan di luar seharian. Rama menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati, tidak ingin membangunkan saudaranya yang mungkin sudah terlelap di kamarnya. Kemudian ia melempar pandangan ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas lewat.

“Udah kemaleman juga, sih. Besok pagi gue anter, deh,” usul Rama. “Tapi mending lo hubungin keluarga lo dulu sekarang. Seenggaknya biar mereka tau lo ada di mana, dan nggak khawatir lagi.”

Arka mengangguk pelan menyetujui saran Rama. Dirogohnya ponsel dari saku celananya kemudian mengambil jarak dari Rama untuk menghubungi satu kontak yang tersimpan.

Napas Arka tertahan sembari ia menunggu telfonnya diangkat. Mempersiapkan dirinya untuk apapun yang akan diterimanya nanti.

“Arka??”

Arka refleks menelan ludahnya mendengar suara yang sangat kentara sarat akan kekhawatiran itu.

“Iya, Ga. Ini gue,” ucap Arka pelan.

“Lo di mana? Bilang. Gue jemput sekarang.”

“Nggak usah. Gue balik besok pagi.”

“Balik sekarang, Arka. Mami khawatir banget sama lo. Lo di mana, sih?”

Meski Arka menyebutkan nama Rama pun, mungkin kakaknya tidak akan mengenalinya. Mungkin kakaknya sudah lupa, atau tidak peduli.

“Angga, gue baik-baik aja. Nggak usah khawatir. Bilangin ke Mami juga.” Arka menatap lurus ke arah lantai di bawah kedua kakinya. “Gue di tempat Rama, kalo lo masih inget. Besok gue pulang.”

“Rama?”

Tarikan napas yang diambil Arka bagai isyarat kekecewaan. Ia menyudahi sambungan itu dengan segera.

“Udah, ya, Ga. Bilang aja ke Mami besok pagi gue udah di rumah.”

Ponsel Arka dimatikan. Cowok itu lalu menyeret langkahnya menuju sofa di mana ia beristirahat malam sebelumnya. Arka menyandarkan punggungnya yang mulai terasa lelah. Sebuah suara dari arah pintu kamar Rama membuatnya menolehkan kepala.

“Ka, mau tidur di dalem aja, nggak?” tanya Rama yang menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar. Sorot mata Rama membuat Arka perlahan bangkit dari tempatnya dan beranjak menuju kamar cowok itu.

Di dalam ruangan hanya ada satu ranjang yang cukup untuk ditempati oleh dua orang. Arka tidak melihat ada kasur ekstra untuk dirinya tidur di sana.

“Tidur berdua gue, kalo lo mau,” jelas Rama. “Atau lo tidur di situ, terus gue gantian tidur di sofa.”

“Eh, jangan,” larang Arka langsung. “Gue tamunya masa malah lo yang tidur di sofa.”

Rama tertawa pelan. “Nggak papa, kok. Sofanya juga enak buat tidur. Iya, kan?”

Arka tidak membantah ucapan Rama. Memang sofa di ruang tengah itu terasa nyaman saat ia terlelap di sana malam kemarin. Tetapi rasanya tetap tidak pantas membiarkan pemilik rumah untuk tidur di sofa sedang dirinya menempati tempat tidur.

“Pake ranjangnya berdua aja nggak papa,” ucap Arka kemudian.

Lampu kamar sudah padam menyisakan ruangan yang hanya mendapat bias cahaya dari lampu di pinggir jalan yang masuk melalui celah tirai jendela. Suara kendaraan yang lewat di depan rumah sesekali terdengar.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang