Hanan hanya kebetulan ada di sana ketika ia sedikit-banyak mendengar kronologi kejadian yang diceritakan oleh ibu Arka pada Arka tentang ayahnya. Setidaknya Hanan mendengar sesuatu tentang perdebatan, kepergian, dan serangan jantung. Hanan menghubungkan satu hal dengan yang lain dan menarik kesimpulan dalam kepalanya.
Setelah memastikan ayah Arka sudah dapat dipindahkan ke ruang rawat, ibu Arka meminta Arka untuk menemani ayahnya selagi ia pulang untuk mengambil beberapa barang yang diperlukan dan kembali bersama Angga. Arka menanyai Hanan kalau-kalau ia juga ingin pulang tetapi Hanan memilih untuk tetap menemani Arka.
Sepeninggal ibunya, Arka duduk di kursi panjang yang letaknya berseberangan dengan ranjang tempat ayahnya terbaring. Lelaki itu masih terpejam dengan peralatan medis yang menempel di tubuhnya. Napasnya sedikit berantakan dan Arka terus memperhatikannya.
Hanan duduk di ujung kursi yang berlawanan. Sejak tadi ia memang sengaja sedikit menjauh untuk memberikan Arka ruang bagi dirinya sendiri. Atau mungkin Hanan juga berusaha melakukannya untuk dirinya yang masih memikirkan ucapan ibu Arka beberapa saat lalu. Ia menatap Arka yang tampak resah dan kedua tangannya yang saling bertaut kuat. Perlahan ia mulai menggeser tubuhnya hingga ia benar-benar berada di sebelah Arka.
Arka membiarkan tubuhnya ditarik oleh dua lengan yang menenggelamkannya dalam pelukan. Arka baru sadar ia membutuhkan ini sejak kakinya menginjak rumah sakit. Rasa khawatir yang menyerang secara tiba-tiba meski lelaki yang tengah terbaring di hadapannya itu lebih banyak memberinya sakit daripada kasih sayang. Arka benci ia masih takut kehilangan dan ia benci masih menaruh harapan bahwa kelak ayahnya dapat menyayanginya apa adanya.
Usapan pada kepala dan ciuman yang sesekali jatuh pada puncaknya mulai memberikan ketenangan pada Arka. Ia bersyukur Hanan memilih untuk menemaninya daripada pulang ke rumah. Nyatanya ia tidak bisa menghadapi ini semua sendirian.
"Bokap lo bakal baik-baik aja," bisik Hanan.
Kalimat itu seharusnya menjadi penenang bagi Arka, tetapi cowok itu malah membenamkan wajahnya dalam-dalam di dada kiri Hanan. Arka menyadari bahwa meski ayahnya akan baik-baik saja, namun keluarganya tidak. Dirinya tidak akan baik-baik saja.
Entah mengapa napas yang coba ditarik Hanan terasa berat. Ia masih mengusap kepala Arka sementara pikirannya tak henti mengulang cerita yang disampaikan ibu Arka padanya. Hingga ia akhirnya tak dapat menahan diri untuk bertanya.
"Ka, ada yang mau lo ceritain ke gue?"
Pertanyaan Hanan datang secara tiba-tiba dan Arka sempat terpaku sejenak. Ia menebak-nebak hal mana yang memicu pertanyaan Hanan. Tentu saja jawabannya sudah ada dalam kepalanya sejak awal, sesuatu yang belum sempat Arka sampaikan. Realisasi baru menghantam kepalanya ketika ia mengingat telah meninggalkan Hanan bersama ibunya beberapa saat yang lalu.
"Mami ngomong sama lo?" Arka seakan meminta konfirmasi untuk dirinya sendiri.
Hanan menarik dirinya agar ia dapat melihat wajah Arka sebelum ia kembali bertanya. "Lo ada niatan buat cerita sama gue?"
Anggukan kepala Arka menyimpan desperasi. Ia ingin Hanan memahami bahwa ia tak bermaksud mengelabuinya.
"Gue ada niat buat cerita sama lo, Nan. Gue mau ngasih tau lo," ucap Arka. "Tapi gue nggak mau lo jadi sedih atau kepikiran soal ini."
"Dan gue pernah bilang kalo gue nggak mau lo sakit sendirian, kan? Meskipun gue juga sakit, seenggaknya gue tau apa yang lo rasain. Gue sekarang pacar lo, Ka. Gue pengen jagain lo, gue pengen ngelakuin hal-hal yang seharusnya dilakuin sama seorang pacar."
Demi mendengar penuturan yang terucap dari mulut Hanan, Arka kembali menghambur ke pelukan Hanan. Kali ini jemarinya mencengkram kemejanya dengan kuat.
"Gue nggak mau pergi, Nan. Gue nggak mau," bisik Arka melalui tenggorokannya yang mulai terasa sakit. "Kalo bokap gue masih mentingin egonya... Gue, Mami, sama Angga yang bakalan pergi. Gue nggak mau ninggalin lo. Gue nggak bisa. Gue sayang sama lo, Nan."
KAMU SEDANG MEMBACA
ÉVADER
Fanfictionㅡ ÉVADER. Berlari dari segala hal yang menjadi jerat, Hanan dan Arka menemukan tempat untuk satu sama lain. Seiring bergulirnya waktu, lengan yang selalu memberi peluk rupanya tak juga henti memberi remuk. [part of Jejak di Antara Semesta series]