11. Titik Awal

631 58 61
                                    

"Ah-"

"Sstt!"

"Ah…. ADUH!"

"Diem dulu."

"Sakit bego!"

Setengah kesal dan tidak sabar Edgar akhirnya sengaja memberi tekanan pada luka lebam di wajah Hanan itu. Hanan langsung memaki Edgar sambil berusaha menepis keras tangannya.

"Lo niat ngobatin, nggak, sih!?" gerutu Hanan.

"Lo gerak mulu! Anteng aja makanya. Kebanyakan ngeluh." Edgar mengomeli Hanan yang kini mendelik ke arahnya. "Mau diobatin, nggak?"

Hanan tak menyahut, hanya menatap kesal pada cowok yang tiba-tiba datang ke rumahnya siang itu. Ia memang sengaja bolos kuliah. Kepalanya sangat pusing dan pikirannya ruwet. Percuma saja kalau ia memaksa untuk berangkat, sudah bisa dipastikan tidak ada satupun penjelasan dosen yang masuk otaknya.

Lagipula, Hanan juga belum sanggup untuk melihat Arka lagi.

Edgar kembali mendekat untuk mengobati pipi Hanan. Sesekali Hanan mendesis karena nyeri yang menjalar pada sarafnya. Ia tidak habis pikir kenapa Hanan belum juga mengobati lukanya itu.

"Lo kenapa nggak ngampus tadi?" tanya Edgar tiba-tiba.

"Tau darimana?"

"Gue tadi ke jurusan lo."

Seusai kelas terakhirnya hari itu, Edgar memang berencana untuk menemui Hanan. Ingin tahu perkembangan informasi mengenai Arka. Namun Hanan tak dapat dihubungi melalui ponselnya hingga Edgar terpaksa datang langsung ke gedung fakultas Hanan.

"Gue ketemu Biru. Dia bilang lo nggak masuk. Makanya gue ke sini," lanjut Edgar. Dan menemukan Hanan yang seperti orang mati bergelung di dalam selimutnya dengan kondisi kamar berantakan. Tidak ada siapapun di rumah itu selain Hanan.

"Lo- ketemu Arka, nggak?" Hanan mengabaikan penjelasan Edgar.

"Nggak ada. Bukannya dia belom balik?"

Hanan menarik napas panjang kemudian menyingkirkan tangan Edgar dari wajahnya. Ditegakkan punggungnya sebelum ia menjawab. "Udah balik dia."

Kali ini Edgar terkejut. Kenapa Hanan tidak memberitahunya? Dan kenapa Hanan tidak terlihat lega kalau Arka akhirnya sudah kembali?

"Serius lo? Kapan baliknya?"

"Kemarin," jawab Hanan singkat. "Lo beneran nggak liat dia tadi di jurusan?"

"Seinget gue nggak ada. Kenapa?"

"Nggak papa."

Edgar mulai merasa ada yang janggal. Dari cara Hanan menanyakan Arka padahal seharusnya ia yang paling tahu, dan bagaimana Biru menjawab pertanyaan soal keberadaan Hanan tadi.

"Nan, ini lo ditonjok siapa? Jujur."

"Siapa lagi?" tanggap Hanan malas. Ia mulai bangkit dari ranjangnya lalu berjalan menuju lemari untuk mengambil sebuah kaos yang baru.

"Biru?"

Hanan yang sedang mengganti kaosnya di depan cermin lemari hanya bergumam samar untuk menjawab pertanyaan Edgar. Ia biarkan cowok itu menghubungkan satu petunjuk dengan petunjuk lain dan menyimpulkan sendiri.

"Soal malem itu, kan?" tebak Edgar. "Siapa yang ngasih tau dia? Bintang?"

Selesai memakaikan kaos pada badannya, Hanan berbalik lalu bersandar pada pintu lemarinya. Menatap lurus ke arah Edgar yang masih duduk di tepi ranjangnya.

"Arka."

Edgar mengangkat alisnya cukup takjub dengan satu nama yang muncul dari bibir Hanan. Ia akhirnya dapat merangkai informasi dari segala keganjilan yang didapatnya.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang