7. Warung Nasi Goreng

605 67 39
                                    

Aneh ketika wanita yang statusnya adalah seorang ibu menolak untuk memberitakan tentang anaknya yang tak kunjung pulang ke rumah. Ia bahkan sempat mencegah Hanan yang hendak mengabari beberapa temannya yang lain dengan alasan bahwa tidak ingin ada kekhawatiran yang timbul. Tetapi Hanan adalah salah seorang yang paling peduli kepada Arka saat ini. Dirinya sudah sangat khawatir dan ia menolak permintaan ibu Arka untuk tidak menghubungi temannya yang lain.

“Kenapa, sih, Tante? Nggak ada salahnya saya cari tahu ke temen-temen, kan? Siapa tau Arka ada sama mereka?”

Hanan berusaha untuk tidak terlalu menekan wanita itu sebab masih terlihat jelas betapa pucatnya wajah wanita yang terduduk di sofa itu.

“Saya telfon ke Biru, ya?” usul Hanan lagi.

“Bentar, Hanan,” sela ibu Arka, membuat Hanan menghentikan gerakan tangannya yang hampir menghubungi kontak Biru. “Oke, kamu tanyain ke teman-teman kamu. Tapi jangan sampai mereka tahu kalau Arka pergi tanpa pamit. Jangan ada yang tahu kalau Arka kemungkinan… kabur.”

Kata terakhir diucapkan oleh wanita itu dengan kelu. Rahang Hanan mengeras setelah menyadari bahwa itu adalah kemungkinan terbesar yang sedang terjadi saat ini. Dugaan bahwa Arka kabur dari rumah seketika menguat di kepalanya mengingat bagaimana kondisi Arka dan keluarganya seperti yang selalu diceritakannya selama ini.

Masih dengan pikiran yang bertambah berat, Hanan menempelkan ponselnya ke telinga untuk menghubungi Biru. Batinnya tak henti berharap bahwa Arka ada di sana bersama Biru.

“Halo? Ru?” Suara Hanan bergetar. “Arka… sama lo, nggak?”

Setiap detik yang terlewat rasanya seperti berjam-jam. Hanan menahan napas hingga Biru memberikan jawaban. Dan kakinya terasa lemas ketika Biru berkata tidak.

Hanan tidak ingin berhenti hanya pada Biru. Ia mencoba menghubungi teman-teman sejurusan, semua yang mengenal Arka, bahkan Bintang dan juga Edgar.

Semuanya tidak ada yang bertemu Arka.

“Bang Angga, Tante,” cetus Hanan tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Mungkin Arka lagi sama Bang Angga?”

Ibu Arka terlihat bimbang. Jemarinya saling bertaut gelisah. Kemudian ia menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak.”

“Nggak? Arka nggak mungkin sama Bang Angga?” tanya Hanan memastikan.

“Nggak… maksudnya, jangan. Jangan tanya ke Angga.”

“Loh, kenapa? Ada kemungkinan Arka pergi sama Bang Angga tanpa ngomong ke Tante, kan?”

Wanita itu berusaha bangkit berdiri dari duduknya. Ia menatap ke arah Hanan dengan sorot mata yang sulit diartikan.

“Masalah ini…” Ia menggerakkan telunjuknya bergantian pada Hanan dan dirinya sendiri. “Cukup kamu dan saya aja yang tahu. Angga, papinya Arka, mereka nggak perlu tahu. Nggak boleh tahu. Paham, kan, Hanan?”

Tentu saja Hanan tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita di depannya ini. Ibu macam apa yang harus menyembunyikan masalah seperti ini dari keluarganya sendiri dan mengabaikan kondisi anaknya?

“Maaf, Tante. Hanan nggak paham kenapa hal ini harus disembunyiin. Tante nggak khawatir kalo Arka kenapa-napa?”

Wanita itu melangkah semakin dekat ke arah Hanan. Dipegangnya satu lengan Hanan cukup kuat. Kali ini sinar matanya meredup, menerawang menembus lantai tempatnya berpijak.

"Saya nggak mau keluarga ini jadi kacau. Saya sudah mati-matian membangun semuanya dari-" Kalimatnya terputus seiring wajahnya terangkat kembali. Menyadari bahwa tak seharusnya ia mengungkapkan itu kepada seseorang yang bahkan tak bisa dipercayainya. Wanita itu menarik napas dalam-dalam lalu mengetatkan cengkramannya pada lengan Hanan. "Hanan, saya minta tolong sama kamu. Jangan sampai keluarga saya tahu. Demi keluarga saya. Demi Arka."

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang