12. Unlocking Secret Box

564 49 49
                                    

Jika Edgar tidak terus-terusan mengawasi Hananㅡdalam hal ini hingga pada tahap Edgar harus menemui Hanan baik di kampus dan rumahnyaㅡbisa dipastikan cowok itu sudah melakukan hal-hal yang ekstrem. Destruksi atas dirinya sendiri.

“Lo ngapain, sih, ngikutin gue mulu?” protes Hanan suatu hari ketika Edgar muncul lagi di pintu rumahnya.

“Lo mau ke mana?” tanya Edgar tanpa menghiraukan pertanyaan Hanan. Dilihatnya cowok itu sudah bersiap pergi dengan menenteng kunci motor di tangan.

“Bukan urusan lo.” Hanan berjalan melewati Edgar, bahunya menyenggol cowok itu dengan keras hingga Edgar membalikkan badannya dan mengikuti Hanan dengan langkah-langkah cepat.

Hanan menghampiri motornya yang terparkir di halaman rumah dan hampir memasukkan kuncinya ketika benda itu disambar dengan cepat oleh Edgar. Hanan berdecak kesal, memutar bola matanya.

“Gar, balikin,” pintanya dengan nada suara yang berusaha dibuatnya tenang.

Kunci itu masih bertahan dalam genggaman tangan Edgar. “Jawab gue dulu. Lo mau ke mana?”

“Apa urusan lo? Kemarin-kemarin lo selalu nolak tiap gue ajak keluar. Sekarang tiba-tiba lo peduli gue mau pergi ke mana?”

“Kemarin lo ngajak gue minum, jelas gue tolak!” sergah Edgar. “Lo, tuh, kalo ada masalah jangan badan lo yang lo hancurin. Ada gue. Ngomong. Cerita.”

“Lo nggak tau apa-apa, Gar. Lo nggak ngerti.”

Edgar melangkah mendekati Hanan kemudian membisikkan satu kalimat tajam pada telinganya.

“Bikin gue ngerti.”

Tanpa seizin Hanan, cowok yang lebih tua itu memasukkan kunci motor dan menyalakan motor Hanan. Diperintahkannya Hanan untuk segera naik ke boncengan yang dengan enggan akhirnya Hanan turuti. Keduanya lalu meninggalkan rumah Hanan dengan menyisakan gema suara mesin motor yang kencang.

Arka baru menginjakkan kaki di rumah setelah berjam-jam dihabiskannya dengan mengasingkan diri di perpustakaan kampus setelah kelasnya usai. Salah satu upayanya untuk menghindari pertemuan dengan Hanan di tempat-tempat yang biasa cowok itu lewati. Namun sepertinya Hanan sudah tak terlihat lagi begitu kelas terakhir hari itu selesai, yang kemudian sangat disyukuri Arka karena itu berarti Hanan mendengarkan permintaannya tempo hari. Untuk tak muncul lagi di hadapan Arka.

Rasa ngilu yang tiba-tiba merambat pada dadanya segera Arka abaikan seiring ia mendorong pintu rumahnya.

"Arka pulang."

Biasanya ibunya akan duduk di sofa ruang tamu sembari mengerjakan sesuatu tiap Arka kembali, tetapi kali ini yang menyambutnya adalah kakaknya.

"Kok, baru balik?" tanya Angga begitu Arka memberi salam. Ia langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri adiknya untuk dirangkul dengan sebelah tangan.

"Lo yang tumben udah ada di rumah jam segini," komentar Arka. Kakaknya itu memang lebih sering pulang terlambat ketimbang dirinya. Tetapi tak pernah orang tuanya menegurnya sekalipun. Mereka telah memberikan kepercayaan penuh pada Angga sementara Arka masih harus meyakinkan ibunya alasan ia pulang telat ke rumah adalah untuk urusan kampus.

Angga menarik adiknya ke meja makan lalu bergegas mengambil sesuatu dari dalam kulkas.

Jus jeruk.

"Tadi gue buru-buru pulang buat ngasihin itu ke elo. Takutnya keburu nggak enak. Ternyata lo belom ada di rumah," jelas Angga.

"Ya, ampun, Ga," keluh Arka sembari menghela napas. Tangannya meraih jus jeruk yang masih dingin itu lalu menancapkan sedotannya sebelum meminumnya. "Ngapain tiba-tiba beliin gue jus jeruk? Thanks, by the way."

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang