19. Still

545 44 47
                                    

Arka menegakkan punggungnya ketika Hanan datang membawa segelas es teh dan sebotol air mineral dingin. Cowok itu menaruh botol air mineral di depan Arka sebelum membiarkan dirinya duduk di hadapannya.

"Thanks," ucap Arka sembari meraih botol yang berada di depannya. Diputarnya tutup botol yang masih tersegel rapat itu sekuat tenaga. Tangannya memang aneh, ia selalu kesulitan membuka tutup botol.

Hanan yang tengah menyedot es tehnya memandangi Arka yang masih bertarung dengan botol minumannya. Dengan senyum yang berusaha disembunyikan, Hanan mengambil alih botol itu dari tangan Arka dan membukanya dengan sekali putar. Kemudian ia letakkan kembali di depan Arka.

"Nggak ada gue, siapa yang bukain botol minum lo?" celetuk Hanan.

"Hah?"

Hanan buru-buru menggelengkan kepalanya lalu mengganti topik pembicaraan.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Hanan setelah Arka meneguk air minumnya.

"Bukannya lo yang mau ngomong sesuatu?" Arka balik bertanya.

"Iya. Tapi gue mau denger dari lo dulu."

Arka menarik nafas sebelum mengangguk singkat. "Gue cuma pengen cerita aja, sih. Karena ini berhubungan sama saran lo waktu itu."

Hanan merapatkan tubuhnya ke tepi meja, mulai memberi perhatian penuh pada ucapan Arka.

"Saran gue soal?"

"Buat ngobrol sama nyokap. Gue udah ngobrol banyak sama dia." Arka menelan ludahnya sebelum melanjutkan, kali ini ada senyum yang terulas. "Nan, gue ngerasa lega banget walaupun ada beberapa fakta yang bikin gue sakit."

Hanan mengangkat alisnya. "Oh, ya?"

Arka mengangguk cepat. Binar pada matanya mulai nampak.

"Bokap gue nggak mengharapkan gue ada, itu bener. Tapi ternyata nyokap merjuangin gue sampe sekarang. Gue bisa duduk di sini, cerita sama lo, karena nyokap gue nggak ngorbanin gue dulu."

Perlahan sudut bibir Hanan terangkat mendengar penuturan Arka. Meski mata Arka terlihat berkaca-kaca, tetapi Hanan yakin itu untuk satu alasan yang baik.

Tangan Hanan terulur untuk meraih satu tangan Arka yang berada di bawah meja, menggenggamnya dengan erat. Kali ini Arka tak berkelit. Cowok itu balas menggenggam dengan lebih erat.

"Gue bangga banget sama lo, Ka," ucap Hanan tulus. Raganya ingin memeluk Arka dengan sangat. Tapi untuk saat ini, begini saja sudah cukup.

"Gue pengen ngasih tau ini ke lo. Gue pengen lo jadi orang pertama yang tau."

Kalimat Arka berada di luar dugaan Hanan. Ia kesulitan menemukan kata-kata untuk membalas Arka ketika cowok di depannya itu menyambung ucapannya.

"Karena lo temen gue."

Seketika senyum di wajah Hanan memudar. Ia merutuki pikirannya sendiri. Seharusnya ia tidak perlu kecewa karena ia yang pertama kali menawarkan pertemanan untuk keduanya.

Hanan menarik tangannya kembali. Menyisakan Arka yang menyorotkan kebingungan.

"Gue yang pertama tau? Lo nggak ngasih tau Rama?"

Nama itu disebut lagi oleh Hanan.

"Rama... Gue belom ngobrol lagi sama dia."

"Kenapa?"

Arka mengangkat bahunya. "Bukan apa-apa. Lo kenapa nyebut dia terus, sih?"

Hanan baru menyadari ucapannya yang terlempar secara impulsif. Fokus utamanya seharusnya jatuh pada Arka dan ceritanya. Ia tidak perlu meresahkan hal lain.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang