Datang pada waktu yang tidak biasa, kemudian disusul oleh tindakan yang tidak terduga, Rama dapat sedikit banyak menerka apa yang mungkin sedang terjadi. Namun sebelum menyentuh perihal itu, ia membiarkan Arka lelap dalam tidurnya terlebih dahulu. Tangisnya tadi adalah pertanda lelahnya yang harus ditahan hingga ia menemukan tempat untuk beristirahat.
Rama sudah menyiapkan kamarnya untuk Arka merebahkan badannya. Tetapi cowok itu menolak dan memilih untuk tidur di atas sofa. Tidak lama hingga matanya terpejam dan deru napasnya halus terdengar.
Arka datang hanya membawa tas ransel yang kemungkinan isinya tidak banyak. Rama segan untuk menggeledah dan melihat apakah temannya itu membawa pakaian ganti. Akhirnya Rama hanya melepas jaket yang masih melekat di tubuh Arka dengan hati-hati agar ia tak terbangun. Lalu diberikannya selimut hingga menutupi badannya.
Dering ponsel yang berbunyi mengejutkan Rama. Dirogohnya saku jaket Arka untuk menemukan benda yang masih berkedip layarnya itu. Nama yang muncul membuat Rama sempat menahan napasnya. Beberapa lama layar ponsel terus berkedip hingga akhirnya kembali mati setelah deringnya berhenti. Rama meletakkan ponsel di atas meja tak jauh dari sofa tempat Arka terlelap sebelum dirinya beranjak menuju kamarnya.
ㅡ
Harum aroma roti bakar juga kopi membangunkan Arka dari tidurnya. Matanya masih belum terbuka sempurna tetapi ia dapat menangkap siluet seseorang di dekatnya. Setelah mengerjapkan matanya berkali-kali dan mengenali punggung yang sedang menata sesuatu di meja itu, Arka mengulas senyum samar.
“Ram.”
Rama menolehkan kepalanya dan mendapati Arka yang sudah terbangun dari tidurnya. Kantuk masih tersirat di wajahnya tapi Rama sudah lama tak melihat pemandangan itu. Ia rindu.
“Pagi,” sambut Rama dengan senyum lebar. “Enak, nggak, tidurnya?”
Arka bangkit berdiri kemudian menyeret langkahnya untuk menghampiri Rama. Dua piring yang masing-masing berisi dua tumpuk roti bakar tersaji di atas meja. Ditemani dengan dua cangkir kopi yang masih mengepul hangat.
“Sori gue langsung tidur kemarin,” ucap Arka dengan suaranya yang masih serak. Ia mendudukkan dirinya di hadapan Rama kemudian mencomot satu buah roti bakar dan mulai memakannya. “Saudara lo mana?”
“Udah berangkat,” jawab Rama singkat, ikut mengambil roti bakar miliknya dan mulai menikmati sarapannya.
“Lo nggak nganterin?”
“Terus ninggalin lo di sini sendiri? Lagian dia juga bisa berangkat tanpa perlu gue anter, kok. Deket sekolahnya.”
Arka bergumam pelan. Sejujurnya ia masih merasa sungkan harus datang kepada Rama dan merepotkannya seperti ini. Tetapi ia tidak memiliki tempat lain yang terlintas pada pikirannya.
“Lo bawa baju ganti, nggak?” tanya Rama hati-hati. “Kalo nggak bawa, lo boleh pake punya gue dulu.”
“Iya, thanks, Ram.” Arka menjawab pelan. Meski tak diucapkannya dengan gamblang, rasanya Arka tahu bahwa Rama sudah mengerti alasan dirinya berada di sini sekarang. Dan Arka sangat bersyukur Rama tidak repot menanyainya tentang hal-hal yang belum ingin diceritakannya.
“So? Hari ini mau ngapain?”
“...Ngapain?”
Rama tertawa kecil, “Emangnya lo mau seharian di sini doang? Nggak ada hiburannya. Gue nggak bawa game console ke sini.”
“Oh.” Arka ahirnya ikut tertawa setelah memahami maksud ucapan Rama. “Kalo gitu… lo mau nggak, gue ajak jalan-jalan ke tempat yang gue pengen datengin?”
KAMU SEDANG MEMBACA
ÉVADER
Fanfictionㅡ ÉVADER. Berlari dari segala hal yang menjadi jerat, Hanan dan Arka menemukan tempat untuk satu sama lain. Seiring bergulirnya waktu, lengan yang selalu memberi peluk rupanya tak juga henti memberi remuk. [part of Jejak di Antara Semesta series]