1. Sekotak Roti di Depan Pintu

1K 91 9
                                    

Arka masih rebah di ranjangnya, menatap ke arah langit-langit kamarnya yang tak akan bisa dilihatnya lagi. Semua kenangan yang tersimpan di kamar ini akan tinggal di dalam ruangan ini. Sementara yang bertahan di dalam kepala Arka mungkin perlahan-lahan akan terkikis dan habis tak bersisa. Arka belum siap untuk berpisah.

Suara panggilan dari ibunya sedari tadi belum mengusik Arka hingga wanita itu benar-benar masuk ke dalam kamarnya.

“Ya ampun, Arka. Kamu itu kalo dipanggil Mami langsung nyaut bisa, nggak? Itu mobil udah mau berangkat kamu malah masih tidur-tiduran di sini.”

“Angga juga masih di kamarnya, kan, Mi?” celetuk Arka.

“Dia itu kakak kamu, panggil yang sopan!” omel ibunya. “Udah buruan turun.”

Setelah ibunya meninggalkan ruangan barulah Arka bangkit dari rebahnya dengan berat hati. Dipandanginya sekeliling kamarnya, mengingat tiap sudutnya dalam pikiran, sebelum ia melangkah keluar kamar.

“Ga, udah mau berangkat,” panggil Arka di ambang pintu kakaknya.

Sang kakak yang juga terlihat masih ingin mengenang kamarnya itu menolehkan kepalanya dan tersenyum tipis. Dirangkulnya Arka lalu keduanya turun ke bawah menyusul orang tua mereka yang sudah siap dengan mobil yang mengangkut barang perabotan rumah.

Seharusnya Arka tidak perlu terlalu bersedih masalah pindah dari satu tempat ke tempat lain. Toh, sebelumnya juga ia sudah sering melalui hal seperti ini sejak ia kecil. Namun yang terakhir ini adalah yang ternyaman bagi Arka. Setidaknya ia punya seseorang untuk berbagi keluh-kesahnya. Yang kini harus ia tinggalkan juga.

Rumah baru Arka berukuran lebih besar dari rumah sebelumnya. Arka tidak terlalu peduli akan hal itu, malah ada rasa takut jika rumah sebesar ini akan semakin membuatnya kesepian. Karena ia kembali pada titik awal, tidak memiliki siapa-siapa.

“Kakak mau kamar yang sebelah mana? Yang di lantai atas itu ada, tapi yang di bawah lebih gede lho, Kak.”

Ibunya sudah ribut membagi kamar sejak mereka sampai di tujuan. Dan tentu saja yang diprioritaskan adalah kakaknya. Arka hanya mendudukkan dirinya malas di sofa, menunggu kamar mana saja yang tersisa untuknya. Kalau bisa yang jauh dari kamar orang tuanya.

Hari pertama mereka habiskan dengan menata barang-barang yang mereka bawa dari rumah sebelumnya. Sebagian barang sudah dipindahkan beberapa hari sebelumnya, jadi mereka hanya perlu merapikan sisanya saja. Tentu saja tetap melelahkan, apalagi bagi Arka yang kamarnya ada di lantai atas. Ia harus bolak-balik membawa barangnya melewati anak tangga yang cukup panjang itu.

“Arkaaa?”

Panggilan dari ibunya keesokan paginya membangunkan Arka yang badannya masih pegal-pegal bekas kerja keras memindahkan barang. Ia buru-buru turun ke bawah kalau tidak ingin ibunya mendobrak paksa kamarnya dan mulai mengomel panjang-lebar.

“Kenapa, Mi?” tanya Arka masih sambil mengucek matanya yang belum sempurna terbuka.

Ibunya sudah sibuk menyiapkan beberapa kotak di atas meja makan. Arka menautkan alisnya heran karena untuk apa ibunya membeli banyak sekali roti pagi-pagi begini. Namun keheranannya langsung terhapuskan begitu ia mengingat bahwa keluarganya baru saja pindah, yang artinya sang ibu akan mulai dengan kebiasaannya setiap kali mereka berada di lingkungan baru.

“Ini.” Ibunya menyerahkan satu buah kotak berisi roti ke dekapan Arka. “Kamu kasihin ke rumah sebelah. Jangan lupa bilang kalo kita baru aja pindahan kemarin. Kenalin diri juga, ya?”

Arka sebenarnya paling malas harus berinteraksi dengan orang asing. Dan itu yang harus dilakukannya setiap kali mereka pindah ke tempat baru. Arka lelah harus berusaha menjadi seseorang yang bukan dirinya di depan orang lain. Maka dari itu ia sudah menyerah sejak lama. Sekarang ia tidak peduli jika orang lain tidak menyukai apa yang bisa diberikannya di kali pertama mereka bertemu.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang