18. Reasons

530 42 55
                                    

Meski Arka dan ayahnya belum bertegur sapa lagi setelah kejadian hari itu, namun ibunya bersikap lain kepada Arka. Ia jadi lebih sering menanyai Arka dan bahkan mendengarkan pendapatnya akan sesuatu. Jujur Arka merasa dilema, sebab perubahan sifat ibunya ini bisa saja untuk menutupi atau mengalihkan perhatiannya dari ucapan ayahnya saat itu. Yang tentu saja belum dapat Arka lupakan hingga saat ini. Arka kembali teringat saran Hanan untuk membahas masalah tersebut dengan ibunya.

“Mami, mau makan di luar, nggak?”

Ajakan yang kemudian diiyakan oleh ibunya itu mengantar keduanya ke satu tempat yang asing bagi ibunya namun sudah sangat familiar untuk Arka.

“Ini warung apa sih, Ka? Emangnya enak menunya?” tanya ibunya sangsi sembari melihat ke sekeliling warung yang malam itu lumayan padat pengunjung.

Arka sudah menduga ibunya akan berkomentar tentang warung nasi goreng itu. Dari dulu sang ibu selalu mengusahakan untuk makan di rumah dengan masakan buatan sendiri karena ia terlalu banyak menaruh kekhawatiran atas produk makanan yang dijual di luar. Lebih aman makan masakan rumah sendiri, begitu katanya.

“Cobain dulu, Mi,” ucap Arka tenang. Digesernya piring berisi nasi goreng yang masih mengepul ke hadapan wanita yang masih mengernyitkan hidungnya.

Ragu-ragu ibu Arka meraih sendok dan mengambil sesuap nasi. Ia menggerakkannya sejenak di dekat hidung sebelum memasukkannya ke mulut.

Arka menunggu reaksi ibunya selagi wanita itu mengunyah makanannya. Lipatan di keningnya perlahan mengendur, membuat Arka diam-diam merekahkan senyum tipis.

“Enak, kan, Mi?” tanya Arka sementara dirinya mulai untuk menyantap nasi goreng miliknya.

Ibunya bergumam pelan. “Masih enak bikinan Mami.”

Arka tahu ibunya hanya berbasa-basi sebab tangannya tak henti menyendok suapan demi suapan tanpa berkomentar lagi.

"Mi," panggil Arka setelah keduanya sibuk menikmati makanan masing-masing. "Arka ngajak Mami ke sini bukan cuma buat nyobain nasi goreng. Tapi ada yang mau Arka omongin juga."

Wanita yang tengah menekuri teh hangatnya itu mengalihkan wajahnya, memberikan perhatian penuh pada Arka. Dilemparkannya satu anggukan singkat pada anak lelakinya. Arka tahu ibunya pasti juga menyimpan hal yang ingin disampaikan.

"Soal omongan Papi waktu itu," mulai Arka. Matanya menatap lurus pada permukaan meja, belum berani bertemu pandang dengan ibunya. "Itu bener, kan? Semuanya nggak mau Arka lahir?"

Suara obrolan pengunjung dan bising dari bahan makanan yang sedang dimasak di atas wajan menyamarkan tarikan nafas berat yang diambil ibunya. Wanita itu terdiam cukup lama, berusaha menguasai dirinya sebelum ia memutar badannya menghadap anaknya. Satu tangan Arka diraih kemudian disimpan dalam genggaman kedua tangan.

"Arka."

Telinga Arka cukup tajam untuk mendengar getar yang muncul dari suara ibunya. Tanpa sadar dirinya menahan nafas untuk menanti apa yang akan dikatakan ibunya. Ia sudah mempersiapkan hati untuk kemungkinan terburuk yang akan didengarnya.

"Mami… Mami minta maaf," ucap wanita itu lirih. Belum pernah Arka mendengar nada suara ibunya seperti ini. Ibunya selalu keras padanya. "Mami udah berusaha biar kamu nggak perlu tahu masalah ini."

"Masalah apa, Mi?" kejar Arka. "Kalo Arka sebenernya emang nggak diharapin di keluarga ini?"

Ibunya mengusap punggung tangan Arka dengan resah. Ia terus-terusan melakukannya seiring rasa bersalah yang menumpuk di dadanya. Niatnya untuk melindungi anaknya telah berubah menjadi sesuatu yang pelik.

"Papi nggak mau Arka lahir. Apa Mami juga?" tanya Arka.

Sang ibu memejamkan matanya pedih, kepalanya menggeleng pelan.

ÉVADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang