1. Ayo Berkenalan

319 30 51
                                    

Antara hijau yang memanjakan mata, kontras merah dari bunga flamboyan menjadi indah paling memesona. Pohonnya tampak kecil, lantaran berada jauh di depan sana. Pohon tinggi itu memang tengah berbunga, menghias bentang alam supaya lebih sempurna. Namun bagi Gatra, pohon flamboyan itu tak sekedar penghias padang rerumputan, melainkan objek terindah yang-sejak tadi-menjadi fokus pandang. Entah mengapa, rasanya seperti ada magnet dengan sebuah tarikan, yang amat kuat, hingga mengusik tenang, membuat dada berdegup lebih kencang.

 Entah mengapa, rasanya seperti ada magnet dengan sebuah tarikan, yang amat kuat, hingga mengusik tenang, membuat dada berdegup lebih kencang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Benar, Gatra. Sosok itu ada di sana; pada tempat yang sedang kamu pandang."

Gatra menolehkan kepala, membawa pandang pada peri yang lebih tua--ayahnya. Alinea, namanya. Setelah tersenyum, sosok itu tak lagi memandangnya, tapi memandang pohon flamboyan di sebelah utara. Walaupun sisi wajah itu hanya tampak bagian kanan, Gatra akui, paras ayahnya sangatlah tampan. Seakan, usia bukan patokan, terkalahkan oleh pesona alami yang memang menawan.

Bagi Gatra, ayahnya adalah sosok idaman, sosok menakjubkan yang sering kali ia jadikan bahan tulisan. Karena, Alinea merupakan tempat utama bagi Gatra untuk melukis cerita kehidupan. Alinea adalah tempatnya untuk pulang, rumah paling nyaman untuk tinggal dan menikmati hangat kasih sayang. Sepenuhnya, tanpa terbagi, kecuali dengan waktu dan kesibukan.

"Ayo, Gatra, mari berjalan," ajak ayahnya.

Yang benar saja?

Mungkin jika diukur dengan kaki, jaraknya masih ribu ke sepuluh, dan Gatra terlalu malas untuk berjalan jauh-jauh. Itu akan menguras energi dan juga memeras peluh. Bukannya rapuh, bukan pula tidak tangguh, Gatra hanya sedang ingin mengeluh.

Seperti inilah, otot muda, berjiwa rimpuh.

"Ayah, tempatnya cukup jauh. Lagi pula, kita ini peri, kita punya sayap, bukankah terbang akan lebih cepat?"

"Wah, rupanya kau ingin cepat bertemu pasien barumu, ya?"

Seakan melempar ejekan, Alinea menampilkan jahil senyuman. Gatra jadi kesal, tapi tetap mengikuti langkah sang ayah, agar tidak ketinggalan. Tak perlu mendahului, ia hanya ingin setara dan sejalan. Pun soal pekerjaan, Gatra juga ingin menjadi peri penyembuh yang hebat seperti sang pedoman.

Memiliki darah keluarga penyembuh, membuat Gatra ingin menjadi penyembuh juga. Peri golongan ini memang cukup langka, karena kebanyakan mantra dan metode penyembuhan diturunkan hanya kepada generasinya. Gatra merasa beruntung untuk itu. Ia bisa belajar di bawah pengawasan ayahnya, jadi tidak perlu mencari guru.

"Ingat, Gatra, pasien pertamamu sangat istimewa. Sayapnya cacat, itu yang membuatnya berbeda. Tubuhnya pun sangat lemah, dan kamu bertugas menjaganya. Jadi, apa kamu bisa dipercaya?"

Embusan angin mempertegas inti sang Alinea, pada kalimat terakhir yang menjadi pokok utama. Namun, Gatra biarkan tanda tanya itu menggantung di udara, lantaran dikuasai ragu yang datang tiba-tiba. Gatra menunduk diam, memandang kaki telanjangnya yang berjalan pelan. Rumput-rumput sabana menggelitik nyaman, mengusik lamunan. Walaupun saat ditelisik, tidak ditemukan sepercik jawaban.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang