15. Aku Semestanya

42 8 39
                                    

Kelereng emas itu tak dibiarkan terisi sesuatu, kecuali eksistensi semu si peri biru. Tidak ada pendar terang dari sayap butut yang ia pandang. Teramat redup, tapi tak menandingi raut pemilik bagian. Yang beberapa hari lalu kehilangan, masih menumpuk pilu pada ruang kehampaan. Belum berlalu, lantaran terlalu malas untuk selalu memupuk harapan. Untuk apa? Bagi peri cacat seperti Caraka, harap apapun takkan berguna, 'kan?

Eh, pemikiran macam apa itu?

Gatra memejam sejenak, lalu membuka kelopak hingga terfokus pada apa yang Caraka pegang. Adalah sobekan biru selebar dua telapak tangan, sayap rapuh yang terkoyak, yang tak mungkin diselamatkan. Binar sendu Caraka tak berubah sejak beberapa hari silam. Bahkan semakin kelam, seperti malam-malam saat ia mendapati Caraka menangis dalam diam. Daripada rasa sakitnya, Caraka lebih tampak menangisi bagaimana sayap itu robek tanpa sengaja. Seakan-akan, itu adalah itu adalah kehilangan raya, yang dimeriahkan dengan parade lara tanpa suara.

"Raka, sudahlah. Jangan bersedih terus, sayapmu hanya robek sedikit, dan kamu tidak akan mati karenanya. Sekalipun sayapmu masih utuh, kamu tetap tidak bisa terbang," ujar Gatra.

Terhitung satu detik berjalan, Gatra mulai sadar akan apa yang mulutnya katakan. Adalah tentang luka yang tak sengaja ia goreskan. Tidak sengaja, sungguh. Gatra sampai menggigit bibirnya, menyesali ucap yang menyakiti hati Caraka. Gatra hanya mencoba jujur, tapi caranya selalu saja mencipta luka.

Aduh, maaf.

Jika ada konsekuensi, Gatra pasrah. Bisa saja Caraka marah, lalu melayangkan cakaran, hingga wajah Gatra berdarah——seperti dulu. Gatra ingat betul akan hal itu. Namun sebenarnya, Caraka bukan peri pemarah, hanya mudah sakit hati lantaran tutur sang lidah.

Ia kira, Caraka akan marah, tapi suasana beku menyadarkannya akan hitungan waktu, yang terasa kian lambat, bernuansa sayu. Tiada beda dengan sosok biru yang menunduk lesu, menatap lekat pada sekeping puing sayap. Sementara, Gatra tak ingin mengganggu, ucapnya terkunci rapat. Bisu yang memasang mahkota kian bertakhta dengan sunyi yang mengawal setia. Gatra masih mematri diam, menghening cipta, layaknya bertapa dalam gua sepi nan gulita.

Namun ternyata, Caraka lebih dulu menyembulkan pendar kata. Hanya redup, menyingkap gelapnya hati tanpa sanggup. Dikatai tidak bisa terbang, Caraka tidak marah, malah berkata sedih pada tundukkannya yang dalam.

"Aku tahu, Gatra. Aku memang tidak bisa terbang, aku hanya peri yang cacat dan menyedihkan."

Caraka memang tidak melempar tatapan, tapi Gatra cukup peka menangkap getir yang pasiennya getarkan. Ia beringsut mendekat, memegang lembut pundak Caraka. Kepalanya sedikit menunduk untuk menyejajarkan tinggi keempat bola mata. Di situ, ia mendapati Caraka yang menangis diam-diam. Caraka mematri mata pada potongan sayap di atas pangkuan, yang kini terkena tetes pilu dari iris biru dengan sendu yang mendalam.

"Bukan maksudku membuatmu bersedih." Gatra menghela napas."Aku minta maaf."

Gatra tidak mendapat balasan apa-apa, baik sekecap kata, maupun sekedar toleh kepala. Wajah tampan Gatra kini menyendu, menyatukan rasa dengan pemilik redupnya biru.

Namun, bukankah Caraka tampak egois dengan menganggap dirinya paling cacat sedunia?

"Tapi, Raka, dengarkan aku .... Sedikit cacat itu tidak apa-apa. Di dunia ini, semua juga punya cacat sendiri-sendiri."

Mencoba meyakinkan, Gatra menyungging senyuman. Berusaha sebaik mungkin, memupuk yakin untuk diri lain yang tidak percaya diri. Caraka memang cacat, tapi cukup bermanfaat. Karena, dari situlah Gatra mendapat pekerjaan pengisi hari. Kalau tidak, Gatra pasti masih menganggur, sebagai beban negeri.

"Rasanya sangat sulit untuk bersyukur. Mengapa aku terlahir seperti ini? Mengapa Tuhan tidak pernah adil, Gatra?"

Sambil mengatakan itu, Caraka menatapnya, seolah mengalamatkan tanya itu hanya kepada ia. Air mata yang terlihat, membuat Gatra tidak tega. Tangannya terulur meraih empat jari Caraka, mengarahkan punggung tangan itu ke pipi, menuntun Caraka mengusap air matanya sendiri, dari pipi kanan, berpindah ke pipi kiri.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang