21. Sorot Favoritnya

49 8 19
                                    

Kedip kelopak mata menyingkap bola emas bening. Mengerjap-ngerjap, menangkap kerlip yang menyelinap antara ranting-ranting. Setidaknya butuh separuh menit untuk benar-benar menghimpun sadar. Hingga sekarang, ia sepenuhnya terbangun, tepat saat menguarnya rasa-rasa aneh tak terjabar. Namun, ini perasaan yang sangat ia hafal. Adalah tentang keterhubungan dua jiwa rumpang. Saat terjadi sesuatu pada si kawan, batinnya langsung kehilangan tenang.

Caraka kenapa, ya?

Tanpa mengizinkan detik mengganti pukul selanjutnya, Gatra membentangkan jingga. Sayapnya menoreh kemilau, membelah gulita hingga pecah terganti silau. Dari atas dahan flamboyan itu, Gatra melaju turun menuju sang biru. Adalah Caraka, yang tampak memeluk lutut dalam duduk berteman bisu. Saat Gatra mendarat, tatap Caraka terangkat. Biru sendu pun mengekor perpindahannya, tepatnya pada cahaya jingga yang ia bawa.

"Kenapa tidak tidur, Caraka? Kamu bermimpi buruk, perasaanmu tidak nyaman, atau ada yang sakit?" Kendati agak mengantuk, Gatra mengumbar tanya.

Caraka langsung menjawab, "Pangkal sayapku sedikit nyeri, Gatra. Itu menganggu tidurku. Namun lihat ..., aku tidak menangis. Bukankah hebat?"

Jeda yang membentang tidaklah terisi hampa. Suara jangkrik dan gemercik sungai menjadi lagu lembut penyambut telinga. Namun, bukan suara itu yang Gatra perhatikan. Sama sekali bukan, karena gemuruh dadanya terlalu riuh menabuh perasaan. Isi kepalanya terlalu penuh beragam dugaan. Sialnya, tidak ada yang baik.

Gatra sampai membeku beberapa detik. Benaknya sesak dengan banyak kekhawatiran. Apalagi, ini tentang sayap. Sayap cacat yang setiap hari ia rawat itu kian lemah. Gatra tidak tahu kapan sayap Caraka akan patah. Gejala-gejala mulai terlihat. Namun, Gatra berusaha tidak peduli, bahkan menolak ingat tentang fakta hidup para peri.

Bahwa seorang peri yang kehilangan seluruh sayap, akan mati.

Gatra tersenyum teduh. "Iya, pasienku memang hebat, hebat sekali."

Merapal diam-diam, tangan Gatra menghunus pijar lebih terang. Kemudian, ia mencari sumber sakit itu, menyapukan sihir secara perlahan.

"Kenapa tidak langsung memanggilku, tadi?" Gatra berusaha tidak mengomel.

"Tadinya, aku hampir. Tapi, kamu datang lebih dulu," jawab pemilik sayap biru.

Tanpa sadar, Gatra tersenyum senang. Matanya masih fokus menyelisik sisi-sisi sayap si pasien. Tidak ada lubang baru, tapi memang sudah usang. Gatra yakin, ia sudah cukup teliti, meski pencahayaan hanya dari tubuhnya sendiri.

Gulita mendominasi. Permukaan candra terlalu banyak ditutup bayangan bumi. Tersisalah serpih segaris putih rembulan. Bentuknya seperti sabit, berupa kurva melengkung, menggambarkan senyum angkasa dalam kelam. Tampaknya sedang menghibur si jingga. Namun tetap saja, kekhawatiran tak mau meninggalkan Gatra, sekalipun usir alam menerpakan sejuk tenang dalam silir malam.

"Sudah selesai. Bagaimana, sekarang? Apa masih sakit?" tanya Gatra.

Caraka mengangguk. "Tapi, kurasa lebih baik. Sakitnya berkurang, sedikit demi sedikit."

Itu berarti, mantra yang Gatra beri sedikit bekerja. Gatra sangat bersyukur atas hal ini. Ia menggeser duduk, lalu berhenti di sisi kanan pasiennya. Tangan Gatra bergerak merangkul, lalu merangkak turun sampai lengan atas Caraka. Saat itulah, dinginnya tubuh Caraka menyambut sentuh indra peraba.

"Kamu melupakan selimut, rupanya. Dingin bukan hal baik untukmu, jangan lupa," peringat Gatra.

Gatra tidak mau pasiennya mati kedinginan. Tidak lama, tubuh Caraka sudah terbalut selimut coklat pucat keemasan. Gatra yang memasangkan.

"Kamu baik sekali."

Mendengar itu, aktivitas Gatra terhenti. Rasanya aneh, tapi Gatra tidak peduli. Ia memang peri yang baik, Caraka tidak perlu repot mengatakan itu. Nanti Gatra jadi sombong, Gatra tidak mau. Akhirnya, peri jingga ini memutuskan tersenyum saja, manis sekali, semoga terlihat oleh Caraka.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang