19. Jingga Senja

44 8 10
                                    

Masih hari yang sama, dengan posisi matahari yang mulai beranjak dari sisi semula. Namun, Caraka tidak bergerak dari tempatnya. Tumpukan tangan itu masih tertata di atas batu, masih digunakan sebagai tumpu si kepala. Entah sudah berapa jam, Caraka bahkan menolak saat Gatra suruh membaringkan badan. Gatra sampai heran, kenapa Caraka menetap, padahal terlihat tidak nyaman?

Tiba-tiba, Gatra terpikir untuk kembali memberi mantra. Pasalnya, mantra yang tadi tidak menunjukkan kinerja, tidak menyembuhkan sakit pada batok jemala milik Caraka. Gatra yakin, tidak mungkin jika sihirnya terlalu payah, Caraka saja yang penyakitnya makin parah. Namun, Gatra tidak ingin menyerah. Sembari mengangkat tangan, hatinya khusyuk merapal mantra. Ia pun beraksi menyembuhkan, dengan telapak tangan ajaib yang mengambang di udara, tidak jauh dari kepala Caraka.

"Sudahlah, Gatra. Tubuhku sedang tidak mau diberi sihir apapun. Hemat saja tenagamu, karena sakit kepalaku tidak parah," kata Caraka.

Kepala Caraka memang sudah terangkat, tetapi wajah itu kentara lesu, bibir yang harusnya merah malah mendekati pucat. Pasiennya siapa, ini? Apakah dokternya tidak merawat dengan baik? Padahal, Gatra sudah mengurus Caraka sekuat kemampuannya. Ia beri ramuan obat setiap hari, mengobatinya saat terluka, juga menjaga Caraka tetap bahagia. Semuanya sudah—menurut Gatra.

"Kalau begitu, istirahatlah. Tidur siang bukan hal yang buruk, kan?" Gatra menyarankan.

Bukan pertama kali Gatra mengatakan semacam itu, tetapi Caraka tetap tidak mau. Debas napas pun Gatra melodikan, sebelum bertanya apa maunya Caraka, yang ternyata ingin menunggunya melanjutkan tulisan. Apa-apaan? Selain sedang malas, Gatra juga tidak mau menyombongkan kemampuan. Tidak perlu disombongkan, Caraka juga selalu kagum dengan apapun yang ia lakukan. Gatra tidak bohong, ia sering mendengar bagaimana Caraka memujinya keren saat Gatra melakukan sesuatu, baik saat menulis, ataupun meracik ramuan.

Singkatnya, Gatra memang keren, tapi tidak mau dianggap sombong karena terlalu banyak mempertontonkan.

"Tapi aku tidak mau menulis lagi, bagaimana?" Gatra menyilangkan tangan di depan dada.

Berniat angkuh dengan wajah pongah, harga diri Gatra malah jatuh, karena kemampuan aktingnya tidak mencapai setengah. Tawanya membuncah kala Caraka menganggapi serius dengan gumaman ya sudah. Tidak hanya itu, Gatra juga melihat sedih di wajah peri biru. Tampak sangat kecewa karena keinginannya tidak mencapai akhir tuju. Padahal, Gatra tidak sungguh-sungguh.

Namun, Caraka tetaplah Caraka, dengan hati mungil bertatahkan lubang retakan rapuh. Sehingga, apapun mudah masuk ke sana, membuat peri itu mudah tersentuh dan terpengaruh, juga mudah sekali tergores luka. Bahkan saat Gatra menolak keinginan kecilnya, paras manis si biru semakin layu. Terlihat lucu, membuat Gatra tidak tahan mengembangkan tawa. Itu tadi, sekarang tawa itu mulai reda, lalu berhenti.

"Hei, aku bercanda, Caraka. Aku akan terus menulis seperti janjiku; menulis tentang dan untuk kamu. Akan cukup panjang, tapi kamu harus membaca semuanya," ucap Gatra.

Dapat ia lihat, Caraka mengangguk pelan, mengembuskan napas, lalu mengubah posisi badan. Wajahnya kini menengadah, dengan dua lengan sebagai penyokong tulang belakang. Manik biru Caraka memeluk biru lain yang terhampar luas, yang memayungi hijau sabana dari penjuru atas. Entah apa yang jiwa itu langitkan, Caraka tidak berpaling dari gerombol gemawan, yang—padahal—menentang ajak dari si angin untuk beranjak. Namun, tetap di sanalah Caraka mematri atensi, seakan tak peduli mata birunya mengedipkan kelopak beberapa kali, lantaran terpapar banyak sinar mentari.

Bulu mata panjang Caraka pun bergerak samar, membingkai jernihnya biru yang makin bersinar. Saatnya berterima kasih, kepada pohon flamboyan yang menyisakan celah meski daunnya bertumpang tindih, juga pada sinar surya yang bersedia menyorot tanpa diminta. Karena bagi Gatra, manik netra Caraka akan lebih indah saat tertimpa terik cahaya. Kulit wajahnya yang putih pun semakin tampan, saat siluet ranting bersemayam kontras sebagai penghias tambahan.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang