26. Sabda Sunyi

26 5 2
                                    

Pada iris keemasan yang menyorot nanar, terliput bertumpuk-tumpuk penyesalan. Fokusnya adalah pada darah di dahi Caraka sebelah kanan. Lama-lama terlihat samar, lantaran pandang terhalang air yang menggenang, yang berasal dari luap letup besar di relung perasaan. Tangannya mengepal, menikmati degup jantung yang semakin tak tenang.

Waktu di sekitar Gatra masih membeku pada detik-detik yang baru berlalu. Yaitu saat ia tidak sengaja menyerang si peri biru, hingga peri itu terpental, dan membentur sebuah batu besar. Gatra dengan emosinya tadi telah melukai pasiennya sendiri, telah menyakiti sosok yang harusnya ia obati. Penyembuh macam apa, dia ini?

"Raka ...."

Gatra menghampiri Caraka, meletakkan lutut pada hamparan tanah berumput. Ia perhatikan bagaimana tangan peri itu bergerak. Yang meraih luka di kepala, lalu menariknya bersama darah. Tangan itu tampak bergetar, dengan pemilik yang menatap takut-takut. Kemudian, indra tatap Caraka mengarah kepadanya, mengawali ungkap bernuansa kecewa.

"Apa yang kamu lakukan? Kamu menyakitiku, Gatra!"

Gatra membeku di tempat. Rasa bersalah menyergapnya dari segala penjuru, menjerat segenap sendi hingga terasa kaku. Namun, nalurinya sebagai peri penjaga membawa tubuhnya bergerak cepat, secepat bagaimana jantungnya berdetak. Gatra berlari ke arah Caraka yang terduduk lemas. Ia menangkap raga yang hampir tumbang itu.

Iris emas dan biru kini bertemu, saling berbicara tentang sakit yang berbeda. Gatra mendapati biru yang terbingkai tirta netra, tapi tak sadar bahwa matanya sendiri lebih brutal mengurai rasa. Gatra terlalu khawatir, dengan banyak prasangka semu yang mulai mengisi kepala.

Dia terluka, aku yang menyakitinya. Kalau dia mati, hidupku nanti bagaimana?

"Gatra, aku terluka. Apa kamu tidak akan melakukan apa-apa? Apa kamu akan membiarkanku mati begitu saja?" Caraka bertanya.

Tatapan itu melemah, pun suaranya yang kian lirih. Sementara itu, Gatra tidak bisa berpikir jernih. Jangankan menenangkan Caraka seperti biasanya, Gatra bahkan kesulitan mengumpulkan tenangnya sendiri.

"Diamlah, Raka!"

Saat Caraka menyebut kata mati, Gatra semakin takut akan kehilangan. Ia baru saja kehilangan ayahnya, dan tidak pernah ingin kehilangan siapapun lagi, terutama Caraka.

Caraka sekarang diam, matanya pun  terpejam. Peri itu pingsan, menyerah pada ketidaksadaran, dan membiarkan Gatra semakin kacau berantakan. Bahkan, Gatra tak mampu memilah mantra untuk menghentikan tetes darah di dahi Caraka. Gatra menelungkup luka itu, membiarkan warna merah mengisi telapak tangannya. Kemudian, ia mengeratkan pelukan, menutup mata hingga sendunya kian tumpah berjatuhan. Bening yang ia buang seolah tengah mengemis tenang, juga memohon-mohon pada semesta, agar ia tak lagi kehilangan.

Maafkan aku, Raka.

Maaf darinya hanya terucap diam-diam, tenggelam dalam sabda sunyi yang menggelorakan tawa sinis nan kejam. Gatra telah menjadi peri penyembuh paling buruk, yang melukai apa yang harusnya ia sembuhkan. Namun, Gatra baru ingat bahwa tugasnya—menyembuhkan—masih bisa dilakukan.

Dengan tangannya sendiri, Gatra menghapus luka berdarah Caraka. Ia merapal mantra, lalu menyiramkan sihirnya ke sana. Namun, sudah terlalu banyak darah yang keluar. Wajah Caraka pun terlihat semakin pucat.

Darahnya memang sudah berhenti, tapi lukanya belum tertutup sempurna. Gatra lantas memindahkan tubuh itu ke tempat yang lebih teduh, membaringkannya di bawah pohon flamboyan yang tak lagi berbunga. Namun, Gatra tidak melanjutkan pengobatan. Wajah sedihnya kini berpaling, lalu bangkit perlahan untuk meninggalkan. Entah apa yang sedang Gatra pikiran, ia sendiri juga tidak paham.

###
#############################

Min, 25 Sep '22

Itu dulu ya. Aku izin menghilang lagi, dadaaaah🙂

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang