32. Akan Selesai

48 8 15
                                    

Semu-semu, sandikala datang bertamu. Sang waktu lekas melukis nabastala, merias paras langit barat sepanjang garis cakrawala. Cukup cerah, sebagaimana senyum bangga atas kerja yang baru usai. Kaki-kaki itu melangkah gontai, terayun santai meninggalkan tepian sungai.

"Caraka! Kincir airnya sudah selesai!"

Pekik Gatra yang riang menyatu sempurna dengan angin sabana, lalu melebur hilang tanpa tanggapan. Kendati begitu, ujung bibirnya setia terangkat saat menyusuri seperempat busur berpusat flamboyan. Namun, tepat di titik kakinya berhenti, senyumnya padam. Rona senja mengingkari ekspresi jingga, menariknya berbalik untuk menghadapi kelam. Detik pun terasa lambat, membiarkannya meresapi apa yang matanya rekam. Rerumput di sana bebercak darah dan Caraka tergeletak lemah dengan sayap lepas sebelah.

Gatra memangkas jarak, berlari secepat jantungnya menabuh detak. Setelah sampai, ia bersimpuh di hadapan peri biru, lalu merengkuh pelan tubuh dingin itu. Air mata Gatra mulai terhimpun, tetapi ia memaksakan senyum. "Caraka ..., aku akan memberimu mantra," ucapnya berusaha tenang.

Peri biru dengan rambut hitam itu menggelengkan kepala. "Pasti sia-sia. Sayapku mulai terlepas, Gatra." Wajah berpeluh yang penuh air mata menyaji tatap sayu setengah terbuka. Jemari dingin Caraka mencengkeram erat pakaian Gatra, menyalurkan rasa sakit tanpa melalui kata.

Sungguh, Gatra sudah tak kuasa menahan tangis. Sambil menutup luka basah di punggung Caraka, ia menahan isak sepenuh tenaga. Sayap kanan Caraka-yang tadi pagi terselamatkan-kini benar-benar terpisah dari badan. Darahnya mulai berhenti, tapi Gatra sendiri tak yakin seberapa lama pasiennya bertahan.

"Kamu akan baik-baik saja, Caraka."

Meyakinkan Caraka sekaligus meyakinkan diri sendiri, Gatra terus melangitkan harapan. Lengannya lebih erat mengikat pelukan, membentengi diri dari tanda-tanda kehilangan. Sementara itu, tubuh yang ia dekap kian mendingin, lebih dingin daripada tadi pagi. Rona wajah Caraka memudar sempurna, menyisakan pucat pasi.

"Dengar, ya .... Kita harus lalui malam ini bersama-sama. Selama itu, jangan coba-coba menutup mata." Gatra menatap sendu wajah yang ia raba. Peri biru pun mengangguk menanggapi ucapnya.

Warna kelabu menjajah langit petang, menyisakan selapis jingga tipis sepanjang horizon yang melintang. Udara semakin dingin, suara aliran sungai pun lebih jelas terdengar. Bersamaan dengan itu, dersik angin bertiup samar, menjadi tambahan musik yang mengiring tanpa suruhan. Namun, perpaduan aktivitas alam kali ini tak berbeda jauh dengan suasana panggung pertunjukan, dengan adegan paling sendu dan menyedihkan.

"Hei, katakan sesuatu, Caraka."

Caraka mengedipkan mata hingga beberapa tetes air meluncur lewat ujung-ujung kelopak. Peri itu pasti menahan sakit terlalu banyak, hingga sihir pereda nyeri yang Gatra beri tak kunjung berdampak. Padahal, tubuh Gatra sudah menyala semenjak tadi, sihir penyembuhnya juga terpancar melalui itu. Namun, itu tak menyembuhkan si biru sama sekali.

"Gatra, senja di sana sedang redup dan kelabu, sama seperti senjaku." Caraka berucap pelan, lalu menggeliat hingga air matanya terserap pakaian Gatra.

"Aku masih senjamu, kan? Kalau begitu, senjamu tidak akan kelabu. Lihat, tubuhku menyala, aku sedang mengobatimu dan kamu akan sembuh."

Tatapan yakin yang Gatra hunus berbalik lurus dengan kata "mungkin" yang mulai terhapus. Gatra tak pernah selemah ini dalam meyakini sesuatu. Rasanya, ia ingin berteriak keras bahwa ia diterpa banyak ketakutan. Namun, ia tak akan berhenti menaruh harapan. Caraka akan sembuh, Caraka akan bertahan.

"Gatra .... Nanti, jangan berputus asa. Kamu pasti cepat mendapat pasien baru."

Kenapa pasiennya berucap seperti itu? Apa Caraka benar-benar akan mati hari ini? Tidak! Tidak boleh! Gatra tidak mau. Maka dari itu, Gatra tidak menjawab apa-apa. Ia belum siap punya pasien baru. Lebih, tepatnya, ia ingin tetap bersama Caraka, melihat peri itu sembuh dan menjadi teman dalam berbagi tawa.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang