17. Aku Untukmu

52 9 24
                                    

Tiap tetes racik ramuan itu mengandung segudang ketulusan. Mantra-mantra diharapkan manjur, mengaliri pijar rapalan yang ia salurkan mencebur cawan. Matanya pun lekas memejam, melarutkan diri dalam gulita penuh kedamaian. Hanyut sesaat, setelah sebelumnya tenggelam lama dalam asa-asa yang ia tanam. Pasti terkabul, karena ia adalah penyembuh yang hebat, perantara mujarab bagi kesembuhan, yang kata Caraka tanpa perlu obat.

Ya, Gatra sehebat itu, hingga Caraka mau menjadi penggemarnya. Terdengar berlebihan, tapi itulah yang dapat Gatra artikan. Ia pasti terlihat keren di mata Caraka. Selalu, dan semoga untuk selamanya. Karena itu, ia akan bekerja lebih rajin, agar lebih banyak dipuji Caraka. Kira-kira seperti itulah isi otak Gatra yang setiap pagi ia hiaskan, dalam gema motivasi diri, sembari meracik ramuan.

Saat aktivitasnya baru selesai, Gatra mengulas senyum. Dengan percaya diri yang tercetak jelas, ia mengangkat gelas, membawanya melangkah dengan jejak jingga berlarah-larah. Dua kaki itu membawanya pada Caraka, setelah sebelumnya berpaling dari sungai dan mengayun menuju sisi lain dari pohon flamboyan yang tertangkap retina.

Ia mulai memanggil, "Caraka, kamu belum bangun?"

Di sana, Caraka masih membaringkan tubuh, yang separuh tertutup selimut oranye pemberian Gatra. Sayap lusuh itu bergerak pelan, pertanda bahwa pemiliknya tidak sedang tidur. Posisi Caraka berbaring miring membelakangi Gatra, membuatnya harus berjalan melingkar untuk menangkap si tatap yang ternyata tidak tertutup rapat. Tampak nyata, biru itu terlapis oleh leleh bening tipis dalam lirih tangis tanpa bahana. Terlihat menyedihkan, tapi sebisa mungkin Gatra menampik iba yang sempat hinggap pada rautnya.

Gatra duduk dan meletakkan ramuan bawaannya di batu rendah nan rata. Tangannya bersedekap menyilang, dengan tatap angkuh yang sengaja ia tabrakkan kepada Caraka. Bahkan sudah beberapa detik terlalui, Caraka tak juga memperdengarkan keluh apa-apa. Peri itu kesakitan, Gatra mengerti, tapi berusaha menunda peduli.

Napas pun ia embuskan. "Baik, lanjutkan! Kalau merasakan sakit, tidak usah memanggilku," sindir Gatra.

Caraka tidak menanggapi, sementara suara Gatra tetap mendominasi.

"Apa susahnya memanggil namaku saat membutuhkan?! Atau, kamu lupa namaku? Perlukah aku memperkenalkan diri lagi? Baik, namaku Gatra, Larik Jinggatra. Aku ini doktermu, kenapa kamu tidak pernah menganggapku ada?"

Ia mempertahankan dingin, bahkan saat pasiennya menekan isakan dengan pandang berpaling. Mengomeli orang sakit itu bukan tindakan yang benar, tetapi Gatra terlampau kesal, sampai bingung harus bagaimana. Hingga, sabdanya menabuh nada di balik gelora angkara di dalam dada.

Melodinya melunak. "Raka, aku tidak sepeka itu untuk memahami sakitmu. Jadi, mana yang sakit? Tolong beritahu aku."

Caraka menggeleng. "Aku tidak tahu dari mana sumbernya. Sakitnya di mana-mana."

Gatra curiga, mungkin terjadi sesuatu dengan sayap Caraka. Sedikit luka di sana akan menyebarkan banyak rasa sakit. Itu sudah sering terjadi, Caraka harus terbiasa meski tak suka. Gatra jadi sedih kalau memikirkan hal itu, hingga di benaknya timbul pertanyaan kelabu.

Mengapa Tuhan memberi hidup pada raga lemah itu?

Bukannya ia ingin Caraka cepat mati, tetapi terlalu menyedihkan melihat raut kesakitan itu dari dekat. Ah, mengapa juga ia menjadi dokter seperti ini? Padahal, pekerjaan ini cukup sulit. Daripada pasiennya, seorang penyembuh memendam lebih banyak rasa sakit. Seperti ini contohnya, saat Gatra memandangi Caraka yang menangis tanpa suara, mengusap air mata tanpa membagi nyeri yang dia rasa.

"Ayo bangun, aku akan memeriksamu setelah kamu meminum obat," ujar Gatra.

Gatra menarik Caraka untuk bangkit, menyandarkan tubuh lemas itu pada kokoh dahan flamboyan. Caraka tampak tidak bertenaga, pucat wajah itu membuat Gatra tak tega melanjutkan gerutu marahnya. Seakan-akan, hatinya terbalik pada sisi baik yang kini ia tunjukkan untuk semesta.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang