8. Tentang Indahnya

51 10 40
                                    

Judulnya Namamu Saja

Ini puisi pertamaku.
Aku bingung harus menulis apa
Katanya, apa saja bisa menjadi puisi
Aku ingin menulis tentangmu
Tapi kamu terlalu indah untuk ditulis
Dan inilah "apa saja" itu
Judulnya namamu saja.

Begitu mata emasnya mengeja tiap coret aksara, bibir Gatra tak bisa menahan tarikan bahagia. Puisi itu, Caraka yang membuatnya. Hanya sebait, tidak terlalu panjang, tapi membuat Gatra senang bukan kepalang. Puisinya indah, hingga Gatra membacanya berulang-ulang.

Tentu saja indah, karena yang diceritakan adalah tentangnya. Ah, tulisan Caraka cukup bagus, ternyata. Walau masih pemula, peri biru itu mampu mengolah keluguan kata menjadi sesuatu yang manis terbaca. Dari baris-baris puisi itu, Gatra paling suka larik ke-lima, karena di situlah ia merasa hidup dengan baik dalam aksara.

Tapi kamu terlalu indah untuk ditulis.

Jadi, seperti itukah Caraka memandangnya? Seketika, hamburan congkak mewarnai sekeliling si jingga. Ia tersanjung, hatinya terasa melambung tinggi. Gatra memang seperti itu jika dipuji. Salahkan saja Caraka, yang berani membuat Gatra sesombong ini.

"Tidak sia-sia aku mengajarinya menulis puisi," gumam Gatra.

Seperti inikah rasanya hidup dalam tulisan? Ini menyenangkan. Gatra ingin lebih lama tinggal di dalam aksara, membiarkan seni sastra mengaliri tiap denyut kehidupannya. Namun, puisi tentangnya tak cukup panjang. Jika Gatra meminta, akankah Caraka bersedia melanjutkan?

Pandang Gatra tersangkut pada pemilik biru redup yang duduk di bawah flamboyan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pandang Gatra tersangkut pada pemilik biru redup yang duduk di bawah flamboyan. Setiap melihat Caraka, rasanya ingin cepat-cepat mendekat, entah apa yang jadi alasan. Seketika, bentang sayap Gatra mengepak pelan, menjatuhkan serbuk jingga berkilau sebagai jejak yang ditinggalkan. Dua meter di depan objeknya, kepak sayap ia pelankan, menyisakan hempasan kecil yang menggoyangkan rambut hitam Caraka. Gatra mendarat sempurna, lalu tersenyum manis sebagai sapa tanpa suara.

Caraka berdecak kecil. "Jangan menggangguku."

"Apa?! Aku tidak mengganggumu sedikitpun."

Dasar, aneh!

Dua onggok daksa dipeluk diam, dibiarkan cukup lama, lantaran Gatra tak lihai mengendalikan suasana. Selalu saja, canggung mengisi selingkar hampa, dan Caraka tak mungkin menampiknya. Selalu saja, Gatra yang harus mulai pertama, kembali menciptakan awal bagi bincang yang terjeda. Ia menarik napas, melengak sekilas, menyiapkan amunisi kata.

"Caraka, aku sudah membacanya." Gatra menunjukkan kertas daun yang ia bawa.

Dapat ia lihat, Caraka tersenyum. Pasti merasa senang karena Gatra membaca puisi itu. Namun, ketika Gatra meminta puisi itu dilanjutkan, Caraka tampak ragu, berkata malu-malu bahwa ia tidak ahli berkarya dalam tulisan.

"Ayolah, tulisanmu bagus. Lagi pula, kamu tidak sibuk. Bahkan kamu tidak bekerja. Daripada menjadi beban negeri, lebih baik menjadi penulis puisi."

Caraka melempar tatap belati. "Hei, apa tadi?! Beban negeri? Usiaku memang belum cukup untuk bekerja, dan aku hanya pasien yang tidak bisa apa-apa. Tapi, apa kamu tahu? Seorang beban pasti terbebani dengan hadirnya sendiri!"

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang