22. Secercah Senyum

42 9 8
                                    

Seluruh semesta mestinya mengerti, bahwasanya Caraka adalah sentra dari seluruh harsa yang mengitar antara cakrawala pagi. Memang, lelap masih gemar mendekap pejam milik peri biru bernama Caraka itu. Namun, hal baik tentang sosok itu adalah bahagia sejati, terutama bagi sosok jingga yang sudah tersenyum semenjak tadi. Jangan tanyakan kadarnya seberapa, karena tidak mungkin tertakar satuan pasti.

Bermula tepat sebelum pinar fajar merenggut umur peranakan hari. Tadi, Gatra sempat mengumpat untuk cahaya asing yang mengganggu tidurnya. Arunika belum menyingsing, udara terlalu dingin, dan Gatra jelas tahu bahwa pagi masih terlalu buta. Namun, sinar putih kehijauan itu sudah berani menggusur kantuk yang bermukim, hingga menyerah pada gugurnya gulita. Itu cukup terang, padahal percikan matahari belum sedikitpun mengabarkan datang. Manik emas Gatra pun terbuka lebar, lekas mencari tahu dari mana cahaya itu berasal.

Selepas tahu, senyum Gatra langsung memancar. Ternyata, sumber sinar itu dari keranjang rotan yang mendekatinya perlahan. Yang mengembang tepat di hadapan, membuat Gatra mengulurkan raih disambung genggaman. Gatra tahu, itu dari ayahnya. Berisi beberapa gulung kertas, bahan obat-obatan, serta bunga biru ajaib yang terbungkus sapu tangan putih. Gatra senang bukan kepalang. Tanpa menunggu pagi, ia meracik bunga itu bersama beragam jenis bahan, lalu memindahkannya ke botol jernih untuk proses pemeraman.

Pekerjaan itu sudah selesai sejak tadi. Gatra juga sudah memeriksa Caraka——sebagai kewajiban pagi. Sekarang, ia duduk di bawah rindang flamboyan. Sendirian, karena Caraka tadi pamit untuk berjalan-jalan. Namun, peri itu belum kembali sampai sekarang. Gatra memutuskan berdiri, berniat mencari, sampai akhirnya menemukan.

"Raka, kamu baik-baik saja?"

Peri yang sedang berbaring itu menoleh. Masih bisa menoleh, ternyata. Gatra kira pingsan atau kenapa. Katanya, Caraka sedang berjemur, menikmati bagaimana alam menyemburkan hangat, ditemani kesiur angin yang berembus lambat-lambat. Posisinya terlentang sambil menekuk satu kaki, beralaskan rumput pendek, dan berbantal tangannya sendiri.

Gatra menguasai sepetak wilayah, lalu mendudukkan badan. Ia pilih daerah paling nyaman; sedekat mungkin dengan Caraka——yang meski kini tak lagi memandang. Mungkin, aliran sungai ditambah kincir air terlalu menarik untuk Caraka perhatikan.

Merebut atensi, Gatra bersuara. "Raka, aku punya kabar baik."

Pendar biru Caraka mengedar sebentar, sebelum akhirnya berhenti dengan tatap ingin tahu. Tidak lupa, kata tanya apa mengudara, lalu berakhir hinggap pada pertemuan tatap dari dua warna iris yang berbeda. Jangan heran kalau adegan sengaja diperlama, Gatra menggemari berat akan sinar netra biru yang tertimpa cahaya semesta.

Sebelah tangan Gatra terangkat, lalu mengeluarkan kepul cahaya jingga. Dari tengah-tengahnya, botol kaca keluar. Caraka yang tadinya berbaring langsung bangun dengan bibir manis yang melebar. Gatra turut senang, apalagi saat pasien kesayangannya meraih botol tadi dengan banyak tanya yang menjadi iringan.

"Bunga langka itu benar-benar ada? Yang di dalam ini? Kamu sudah meraciknya untukku?"

Gatra mengangguk untuk tiap akhir tanda tanya sang biru.

"Lalu, di mana Ayah?" tanya Caraka lagi.

Namun untuk pertanyaan ini, Gatra harus menjelaskan bahwa peri yang Caraka cari hanya mengirim surat sebagai ganti pulang, katanya masih ada urusan. Gatra kira, hanya ia yang merindukan sosok itu, ternyata Caraka juga. Tentu saja, Alinea itu sudah merawat Caraka bertahun-tahun lamanya, bahkan sudah seperti ayah kandung bagi Caraka.

"Sedikit rindu tidak akan membunuh siapapun. Yang penting, obatmu sudah ada, dan kamu akan sembuh," ucap Gatra.

Secercah senyum terbit lagi. Itu seperti bunga layu yang kembali bersemi. Hanya tersiram sedikit kata yang mempengaruhi, Caraka pasti percaya. Gatra cukup berbakat dalam hal ini.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang