20. Tentang Tahu

37 7 32
                                    

Binar emasnya menatap bangga, pada perputaran roda yang berhasil membawa air ke ladang berbunga. Ini adalah realisasi dari apa yang pernah terpikir, di mana ia tidak perlu repot memindahkan air. Dengan konstruksi kincir air buatannya yang sudah jadi, ia bisa menghemat tenaga, juga tidak perlu menguras sihir. Material kayu dan buluh yang ia rakit sudah mulai menjalankan fungsi, menjadi kesatuan utuh yang mengawali kerja dari poros si jentera tadi.

Gatra mengedarkan pandang, menyusuri belahan bambu yang tersambung panjang. Air sungai mengisi rongga cekung, menjalar layaknya ular, dengan pantul kemilau dari surya yang bersinar. Cairan penyiram itu lalu melaksanakan tugasnya. Terjatuh, dengan rengkuh tanah yang setia mendamba. Menetes, merembeskan subur demi vitalitas flora ajaib di sana.

Tanaman sudah tersiram, tanpa membiarkan Gatra kehilangan waktu luang. Ia bisa menggunakan waktunya untuk hal lain, seperti menulis, berjalan-jalan, atau bereksperimen membuat beragam ramuan. Namun kali ini, Gatra tidak mengambil satupun pilihan. Ia berbalik, bertolak posisi dari tempatnya berdiri. Sayap jingganya mengepak, membawa raganya beranjak menapak udara. Gerakannya meninggalkan kilau jejak berwarna jingga, tertabur pada sebagian hijau sabana. Hempasannya memelan saat tiba di bawah flamboyan. Tepatnya di hadapan Caraka, peri muda dengan sayap berlubang-lubang.

"Hai, Caraka." Gatra menyapa.

Yang disapa sedang sibuk membaca. Caraka memegang banyak kertas yang merupakan karya seorang Gatra. Namun, Gatra tidak menerima pengabaian. Saat ia menyeru sapaan, peri biru itu menoleh sekilas, juga mengulas lengkung senyuman.

Gatra bertanya, "Kamu sudah membaca sampai mana? Apa yang ini? Bagian mana yang kamu tidak suka? Aku bisa menggantinya."

Alih-alih duduk dengan nyaman, Gatra memilih tengkurap dengan kepala yang terangkat. Kepalan dua tangannya ia jadikan penyangga dagu, sementara matanya mengintip kertas bertinta, juga sesekali melirik paras sang biru. Wajah Caraka yang serius membaca terlihat lucu.

"Tidak perlu. Aku sudah menyukainya," ucap Caraka.

Mungkin karena Gatra selalu menulis dengan baik, Caraka tidak pernah mengkritik. Caraka selalu mau membacanya, mengatakan bahwa tulisan itu bagus, dan mengungkapkan rasa suka. Namun kali ini, mengapa peri itu meletakkan bacaannya, menaruhnya di atas batu, padahal belum mengeja seluruh aksara?

"Ada apa, Raka? Kamu lelah membaca? Apa matamu perih dan perlu kuperiksa? Atau ... kertas-kertas itu membosankan, hingga kamu memilih wajahku saja sebagai pemandangan?"

Rasa percaya diri Gatra terumbar luas, menyebar melalui kata-kata teriring senyum lepas. Gatra yang jail pasti menyebalkan di mata Caraka. Berhasil membuat dua manik biru berputar malas meninggalkan wajahnya. Tidak apa-apa, ia memang suka mengganggu Caraka. Sementara itu, yang ia ganggu kini beringsut menjauh, bermaksud mencari aman. Namun, ia dan Caraka seperti dua magnet berlawanan. Gatra selalu suka di dekat Caraka. Ingin ikut pergi ke manapun Caraka pergi, ingin bersama Caraka di manapun peri itu berada.

Caraka bersandar penuh di dahan pohon. "Gatra, aku ingin istirahat. Jangan menggangguku."

Gatra tidak asing dengan raut memelas semacam itu. Gatra tahu, Caraka memang tidak suka diganggu. Bentuk ketidaksukaannya dibagi beberapa tingkatan. Pertama, akan merendah pasrah seperti tadi. Tingkatan kedua, Caraka akan marah. Bisa dengan menunjukkan raut kesal, bisa juga dengan mendorongnya sambil mencakar-cakar. Sementara, tingkatan ketiga adalah yang paling Gatra takuti. Yaitu saat amarah berakhir, dengan aliran air mata sebagai pengganti. Gatra tidak mau itu terjadi. Nanti repot, pokoknya tidak mau!

Gatra terkekeh canggung. "Tenang saja, aku hanya ingin duduk di sini, tidak ingin mengganggu."

Sekian lama, hening bersemayam. Baik Gatra maupun sosok biru yang bersandar di pohon, semuanya membungkam. Suara aliran sungai pun menjadi lagu latar paling kencang, menggumamkan melodi sayup berirama tenang. Namun, nada itu padam membisu kata. Mati, terbunuh suara lain yang menyebat kuasa, atas tahta tertinggi fokus telinga. Adalah sekecap suara yang memanggil tiba-tiba.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang