5. Kesempurnaan Malam

70 13 22
                                    

Separuh bumi berselimut kelam, semakin larut, menghanyut, mulai karam. Namun, netra belum terpejam, meskipun sunyi membawa tenggelam. Gelap tak mengantar pada lelap, sekalipun dibantu dingin sejuk yang memeluk dalam dekap. Biasanya, masa-masa terjaga bisa dimanfaatkan untuk mengolah imajinasi, tapi berbeda dengan kali ini. Bahkan, sudah cukup lama ia menutup layar jingga, dan memilih diam tanpa melakukan apa-apa.

Kalau sudah begini, Gatra bingung harus bagaimana. Masih duduk di atas ranting, ia bergerak kecil, menciptakan sedikit goncangan pada bunga-bunga flamboyan. Kemudian, atensinya tertarik ke bawah, pada aura biru milik peri belia yang duduk di tanah. Rembulan memasang remang, menyorot sebersit indah yang menambah asupan pandang. Gatra menarik kurva senyum. Ternyata, ia bukan satu-satunya yang masih bangun. Membuka sayap, berniat turun, Gatra membawa selembar gelimun. Lirih kelepak mengalun, seiring kepak yang perlahan mengayun.

Tepat di belakang duduknya Caraka, ia membentangkan selimut yang ia bawa. Gatra mengikis jarak, maju perlahan tanpa suara. Sangat pelan, selimut itu ia pakaikan untuk Caraka. Namun, peri itu menggerakkan tangan dengan terkejut, menyalakan biru dengan alis berkerut. Selimut keemasan itu sampai tersingkap setengah, memperlihatkan sesisi sayap sebelah.

Gatra tersenyum lembut. "Maaf jika membuatmu terkejut."

Sementara sang biru meredupkan pijarnya, Gatra mengambil duduk di dekat Caraka. Masing-masing belum bersuara, membiarkan jeda hening membekukan dingin angin yang menerpa. Dan selama detik yang merangkak sia-sia, peri jingga tahu, bahwa Caraka terus memaku mata—padanya. Tak tahan dengan sepi, barulah Gatra memulai bicara.

"Kenapa belum tidur? Terlalu malam untuk seorang peri senja."

Iris biru Caraka terhias tanda tanya. "Peri senja?"

"Caraka Senja Kata .... Peri Senja. Padahal, senja sudah berakhir sejak lama, kenapa kamu masih terjaga?"

Melihat selimut yang sejak tadi tersampir tidak rapi, Gatra membenarkan letak dan posisi, hingga menutup kembali pundak Caraka sebelah kiri. Kemudian, Caraka memeganginya sendiri. Jika seperti ini, bukankah Gatra sudah cocok disebut 'peri yang baik dan perhatian'? Gatra harap demikian.

Walaupun sekedar pencitraan.

Caraka balik bertanya, "Kamu sendiri juga belum tidur, kenapa?"

"Itu sudah biasa. Aku bisa saja, tidak tidur sampai dini hari."

Niatnya sombong, tapi tidak ada yang peduli.  Caraka saja memilih sibuk dengan selimut tadi. Tersisa sunyi, bertabur melodi malam yang kian memperkelam nuansa bumi. Entah mengapa, sinar bulan tampak sendu, selaras dengan kesan kelabu pada aura sang biru. Gatra tidak peduli, raut Caraka  memang tak pernah jauh dari itu. Tatapnya saja terlihat hampa, dan itu hampir selalu.

"Selimutnya nyaman, juga indah sekali."

Gatra tersenyum. "Tentu saja, aku membuatnya sendiri. Aku punya banyak, yang itu untukmu saja."

Sebelum bisu mengambil alih, peri biru di depannya sempat berterima kasih. Dan dapat Gatra lihat, senyum Caraka mengembang dalam remang, melubangi gulita dengan sepercik benderang. Tetap saja masih gelap. Untuk itu, Gatra menyalakan jingga sayap. Seakan ingin melihat senyum Caraka tanpa terhambat.

Eh, apa-apaan?

Eh, apa-apaan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang