11. Teman Kesendirian

57 10 42
                                    

Hari merangkak maju, berpacu bersama laju detak waktu, yang menapak pada tanjak kefanaan nan sementara. Sejauh ini masih sama, berteman baik dengan baik-baik saja yang entah bermakna apa. Buktinya, biru masih membentang, baik cemerlang langit, maupun sayap indah di dalam pandang. Namun, biru adalah keraguan penuh taksa. Ambigu, seperti makna dalam peluk rahasia. Benar, 'kan? Memangnya, biru itu apa artinya?

Seperti biru dengan makna tersiratnya, Caraka juga. Gatra tak pernah paham tentang makna biru yang Caraka kenakan, entah sendu, entah keceriaan. Atau ... mungkin semuanya. Bagaimanapun, itu hanya praduga, yang terbalas bisu dalam penasaran tak terutara. Jika boleh, Gatra ingin menyelam, tanpa mengira seberapa jauh ia tenggelam. Tak apa jika ia terhanyut karam, karena tujuannya adalah larut dalam paham.

"Hai," sapanya riang.

Datang tak diharapkan adalah kesalahan. Pantas saja jika Gatra selalu menelan pengabaian. Rasanya sakit, tetapi Gatra tidak peduli. Bibirnya saja masih tersenyum manis. Tampak tak tahu diri, meski hati cukup menyadari, bahwasanya ia selalu sendiri.

"Jangan menggangguku, Gatra."

Entah berapa kali, tiap ia mendekat, Caraka menyuruhnya menepi. Padahal, ia hanya ingin menemani. Gatra sangat paham tentang sunyinya kesendirian, rasanya tidak menyenangkan. Ia hanya ingin duduk di sini layaknya teman, apa Caraka tidak bisa menerimanya? Kemudian, hanya napas yang mampu Gatra lepas, sembari membaringkan diri pada hijaunya rumput sabana.

"Aku hanya diam, tidak akan menggangu," ucap Gatra.

Gatra benar-benar diam, hanya sesekali menyamankan posisi. Berbantal lengan, dengan kaki tertekuk nyaman, mata emasnya mengamati biru langit berhias awan. Semak belukar menguarkan aroma harum, membuai saraf hidung, membuatnya tak ragu tersenyum. Gatra memejam menikmatinya, lalu membuka mata dengan sedikit menolehkan kepala. Sayap biru Caraka kembali mengisi retina. Robek, rapuh, jauh dari kata sempurna.

Ah, makin menyedihkan saja.

Sudahlah, Caraka memang menyedihkan. Biru yang peri itu tebarkan lebih terbaca sebagai pilu tanpa harapan. Lalu, bolehkah Gatra menjadi jingga penghias biru, layaknya langit senja penghapus segenap sendu? Bukan apa-apa, Gatra hanya ingin merasa lebih berguna, menjadi seorang teman yang mewarnai hidup Caraka. Dan jika berkenan, bisakah si senja menjadi rumah indah untuk ia yang jingga?

"Gatra, aku rindu saudaraku."

Terdengarlah melodi sendu menyapa telinga. Dari situ, Gatra baru tahu, bahwa ia tak pernah ada di hati Caraka. Agak menyedihkan, tapi tak apa. Walaupun ia tak punya saudara, ia tahu betapa rindu sangat menyiksa. Sebatas itu saja, tidak tahu detailnya bagaimana. Dan terkadang, Gatra merasa ingin punya saudara.

"Sudahlah, kamu bisa menganggapku sebagai saudaramu. Lagi pula, aku juga lebih tua, seperti kakakmu," kata Gatra.

"Rasanya tetap berbeda."

Gatra hanya mengulum bibir, tak mampu mengungkap kata. Posisinya tak lagi berbaring, memilih duduk di samping Caraka. Selanjutnya, ia terpaku oleh kata yang mengudara.

Caraka berkata, "Aku selalu merindukannya, terutama saat melihatmu. Warna sayapnya juga jingga, seperti milikmu."

Gatra mengangguk. "Memangnya, dia tinggal di mana? Kalau kamu mau, aku bisa mengantarmu ke sana."

Yang ia dapat hanya gelengan. Gatra tidak mengerti apa yang kawannya pikirkan. Caraka kembali murung. Sementara, Gatra yang bingung harus bagaimana, memilih diam, membiarkan sunyi kembali berkuasa.

Selama ini, Gatra masih bertanya-tanya. Mengapa Caraka tak pernah dijenguk siapa-siapa, meski punya saudara? Dan mengapa Caraka terus merindu, sekalipun tahu bahwa rasa itu tak terbalas apa-apa? Benarkah ikatan saudara sekuat itu? Pasti iya, dan tampaknya begitu membelenggu. Gatra bersyukur menjadi anak tunggal, tidak perlu tersiksa oleh jeratan rindu.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang