7. Kutipan Senja

55 10 51
                                    

Kata ayahnya, ada jingga yang lebih indah daripada cahaya senja. Adalah ia, Larik Jinggatra, pemilik rona jingga—yang baru saja menemukan senjanya. Di dunia ini, Gatra mengenal dua senja; kala di mana mentari mulai tenggelam, dan sosok peri muda dengan biru temaram. Kali ini, ia menemukan keduanya. Ada sepasang sayap biru yang terbentang, berlatarkan jingga kekuningan yang mulai menghias awang-awang.

Terpandang sebagai sebuah kesempurnaan, lantaran dua warna berbeda—biru dan jingga—terbingkai indah oleh iris Gatra yang keemasan. Tepatnya pada batu besar di tepi sungai, damai senja milik angkasa tengah bersemuka dengan senja lainnya. Adalah sang Senja, Caraka Senja Kata, yang sibuk memaku tatap pada semburat jingga di langit barat.

Melihat pasiennya di sana, Gatra memutuskan mendekat, mengayun derap pengikis jarak, hingga menuntut Caraka berbagi tempat. Untungnya, batu yang mereka tempati cukup besar, ditempati berdua pun masih cukup lebar. Dari sini, senja memang terlihat indah, tapi lebih indah saat cahayanya menimpa wajah Caraka—yang meski dari sini hanya tampak sisi setengah.

"Caraka," panggil Gatra.

Peri senja itu masih asyik dengan dunianya. Tidak menjawab, meski sekedar toleh kepala. Mendapat pengabaian, Gatra berdecak tak suka, berniat merebut perhatian dengan mengalungkan lengan pada bahu Caraka. Pita suaranya kembali melepas bahana, memainkan nada-nada demi sunyi yang langsung sirna.

"Hei! Berani-beraninya kamu mengabaikanku, ya! Mentang-mentang namamu Peri Senja, kamu hanya fokus pada langit senja, hingga mengabaikan segalanya. Padahal, senja selalu perlu jingga sebagai warna utama. Lalu, apa kamu pikir, Peri Senja tidak pernah membutuhkan Peri Jingga, hingga tak mengganggap hadirku ada?"

Ia mengoceh, ia berceloteh, dan peri biru yang ia rangkul, akhirnya menoleh. Seketika, tatapan dendam ia peroleh, disusul gerak elakan oleh peri dalam rangkulan. Bahkan, koordinat duduknya Caraka mulai bertranslasi ke arah kanan, menjauhi ia yang masih menjadikan Caraka sebagai titik poros pandangan.

Caraka mengembuskan napas. "Jangan menggangguku, Gatra."

Terdengar lembut merasuk liang telinga. Di sana, ada amarah yang Caraka sembunyikan darinya. Namun, Gatra malah tertarik mengganggu Caraka. Senyumnya saja sudah mengembang, selayaknya si jail yang menemukan calon santapan. Ia mendekat perlahan, dan cepat-cepat melontar ucapan.

"Tapi, aku masih ingin mengganggumu. Aku tidak perlu izin siapapun untuk melakukan itu. Lagi pula, kamu tidak mungkin mengizinkan. Ah, pokoknya aku ingin mengganggumu. Seperti ini, mengganggumu, mengganggumu, mengganggumu, dan mengganggumu."

Ia membuat Caraka kesal bukan kepalang. Pasalnya, setiap kata mengganggumu yang bibirnya ucapkan, tangannya juga turut bergerak, mengobrak-abrik kedamaian. Pertama, Gatra mencubit pipi kanan Caraka, lalu berpindah ke kiri, sebagai iringan kata kedua. Ketiga, ia menyentuh sayap biru Caraka. Kemudian, membarengi kata mengganggumu yang ke-empat, ia menyelisik rambut hitam Caraka dengan jemari, hingga peri itu mengerang kesal, dengan kepala bergidik ke kanan dan kiri.

"Argh, singkirkan tanganmu!"

Terpaut jauh dalam usia, membuat Gatra merasa bebas menganggap Caraka sekecil apa. Misalnya saat ini, ia seperti menemukan adik kecil yang bisa ia ganggu kapan saja. Namun aslinya tidak bisa, karena amarah peri biru itu bisa sangat berbahaya.

Untuk itu, Gatra menghentikan aksinya, melipat tangan, dan mengamati larik senja dan susunan jingga awan. Sama seperti Caraka, Gatra juga suka bagaimana sore melukis keindahan. Mata emasnya beradu lama dengan sorot senja, menghadirkan sensasi menenangkan yang amat sulit terangkum kata. Intinya, ia suka senja. Ragam warnanya tersaji tampak cantik, tersusun apik bersama sisa-sisa hangat cahaya.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang