16. Batas Bahagia

42 8 35
                                    

Bagi Gatra, tidak ada pengisi pagi paling menyenangkan selain menulis puisi. Duduknya di percabangan pohon flamboyan, menekuk sebelah kaki, dan menjuntaikan sebelahnya lagi. Tangan yang baru saja meletakkan pena pada tempat semula, melabuhkan genggam pada lembar berisi coret basah dari sang tinta. Puisinya jadi, dan kertasnya tampak indah dengan kilau sihirnya yang jingga. Dengan itu, tintanya mengering sempurna, yang selanjutnya bisa dengan mudah disimpan. Gatra membuka tangan kanan, menyalakan jingga yang menyerap kertas itu, menuju tampak hilang. Tidak ke mana-mana, hanya Gatra simpan pada lindung teraman dari seluruh mata.

Gatra bosan, tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Bunga-bunga sudah tersiram, ia juga sudah memeriksa Caraka dan memberikan ramuan. Tidak ada pekerjaan lagi, dan Gatra bosan. Biasanya, Gatra cukup pemalas untuk melakukan apa-apa, memilih menulis, tanpa niat mencari sibuk lain dari mana saja. Namun sekarang, ia ingin membuat beda, ingin melakukan sesuatu demi bosan yang harus diusirnya.

Gatra menengok bawah, membiarkan matanya terhias pucat biru yang amat indah. Adalah Caraka, yang duduk di pangkal flamboyan dengan rumput tebal sebagai alasnya. Gatra menggeser fokus mata, ikut mengamati apa yang diperhatikan Caraka. Tidak terlalu menarik, hanya hamparan asri yang seolah tidak bertepi. Namun kosong, seperti bagaimana gemercik sungai menyalakan sepi, tak kuasa membunuh hampa melodi.

Sayap jingga Gatra menghempas udara, menabuh bunyi kelepak, dan melahirkan tiupan untuk selingkar tubuhnya. Namun, itu tidak mengganggu diamnya Caraka. Walaupun rambut hitam itu terkena angin hingga bergoyang, Caraka masih bergeming dalam lamun panjang yang membentang. Gatra sampai bingung caranya menyela, takut mengganggu, tapi juga jenuh dengan bisu yang berdentang lama.

"Kemarin, aku menyelesaikan bab baru. Kamu ingin membacanya?" tanya Gatra.

Gatra harap, untai kalimatnya menjadi awal sebuah konversasi. Namun, Caraka menggeleng, mengatakan tidak dan akan membacanya nanti. Gatra lantas canggung, bingung harus mengatakan apa lagi. Ia mendudukkan diri di samping Caraka, menoleh, lalu menangkap gerik aneh tanpa sengaja.

"Hei, kenapa? Ada yang sakit?" tanyanya panik.

Sambil menguap peluh, Caraka tersenyum kecil. "Tidak lagi."

Tidak lagi berarti tidak terulang, tidak terulang berarti sebelumnya pernah terjadi. Namun, Gatra baru tahu sekarang, melewatkan dan membiarkan rasa sakit itu lewat, tanpa sempat mengobati. Kini, Gatra hanya sanggup membuang napas, lalu mengerutkan dahi dengan kalimat serius yang menyertai.

"Pasti masih ada. Bukankah tubuhmu adalah sarang, dari ribuan sakit yang tak pernah sirna?"

Dalam beberapa sekon yang mereka lalui, Gatra membiarkan Caraka menggandeng hampa situasi. Peri biru itu tampak menunduk, membiarkan dersik merasuk pada lubang-lubang pedih tak berbentuk. Diamnya Caraka langsung membuat Gatra mengerti, bahwasanya apa yang ia ucap sedikit menyakiti. Tadi ia lupa, bahwa yang disampingnya adalah sosok yang mudah sakit hati. Sekalipun kalimatnya tidak mengandung kata penyakitan, Caraka terlalu peka untuk memahami.

"Kalau sudah tahu, kenapa masih bertanya? Ragaku tak pernah luput dari rasa sakit, entah banyak ataupun sedikit," ucap Caraka.

Gatra memperhatikan gerak-gerik Caraka, yang menekuk sebelah lutut, lalu menyandarkan kepala di sana. Wajah itu menoleh sempurna ke arahnya, menunjukkan segaris senyuman, dengan manis yang dilontarkan. Namun, hal tersebut tak selamanya mengikat perhatian. Biru yang menatap pun bukan. Karena, yang menjadi fokus utamanya kini adalah rasa hangat yang hadir tiba-tiba, dari sekelebat ucap yang membelai telinga.

Adalah Caraka, yang tengah berkata, "Namun, sakitnya akan berkurang saat melihatmu ada di sampingku, Gatra."

Terciptalah bait indah menyanjung jiwa, memancing senyum tak tertahankan, serta kilau bahagia dari jingganya yang terbentang. Tentu saja, karena perasaan Gatra diliputi senang. Rasanya sudah berhasil menjadi peri penyembuh yang hebat dan mengagumkan. Ini pekerjaan yang cocok untuknya. Gatra tidak akan pernah menyesal menjadi dokter, apalagi memiliki pasien seperti Caraka.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang