29. Meminta Maaf

20 4 11
                                    

(Yang lupa alur bisa scroll part-part sebelumnya yaa🙏🏻🙏🏻)

#########################

Kelopak sembap mulai tersirap, memperlihatkan gerak manik biru yang baru menuju ke arah Gatra—untuk hinggap. Dua pasang mata berbeda warna pun terjebak tatap, berpeluk lama di antara rindu yang bertumpuk. Gatra pun enggan mengelak, bahkan sekadar mengerjap pelupuk. Karena mata biru Caraka terlalu sayang untuk dilewatkan, bahkan saat terbuka sayu dengan pandang lesu, berteman sisa kantuk yang masih membeban.

"Kenapa, Raka? Apa ada yang sakit?" tanya Gatra.

Tidak ada jawaban dari Caraka. Peri itu kembali menutup mata, lalu menggeliat dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Sementara itu, Gatra melepas tatapan cemas. Jangan-jangan, pasiennya itu merajuk karena kemarin ia tinggalkan. Bahkan, hingga beberapa saat setelahnya, Caraka belum juga buka suara. Gatra semakin waswas saja. Jika kembalinya ini ditolak, bagaimana?

"Hei, jangan membuatku khawatir. Di mana yang sakit? Katakan padaku," pintanya perlahan.

Mata emasnya kembali bersitemu dengan mata sang biru yang baru terbuka. Cukup lama, tapi Gatra masih kesulitan mengerti Caraka. Ia tidak tahu apakah peri itu sedang mengantuk, kesakitan, merajuk, atau sekadar malas berbicara. Karena sejauh ini, belum ada tanda yang bisa dibaca. Membingungkan!

Detik sudah melangkah. Menit kosong pun mulai berubah. Anehnya, peri di hadapan Gatra masih betah dengan bisu yang menggagah. Beruntung, Gatra setia menunggu tanpa banyak tingkah. Wajahnya terlukis senyum tipis saat suara Caraka mengikis sepi yang kini terbelah.

"Kemarin kamu tidak ada. Kamu ke mana?" tanya Caraka.

Masih dengan senyum tipis, Gatra menjawab, "Aku pergi ke bukit untuk sejenak. Ada apa? Kamu merindukanku?"

Tiupan pagi membawa dedaunan kering berputar-putar dalam terbang. Desik suaranya mengalun musik bersama gemercik sungai yang membuai pendengaran. Iramanya menjadi latar belakang bagi dua peri yang mematri diam. Caraka tampak menggeser pandang, melihat padang rumput yang hijau membentang. Gatra juga membungkam, tidak mau mengganggu sebelum lawan bicaranya memberi tanggapan.

Caraka kembali beringsut, mengarahkan muka kepadanya, lalu bersuara dengan lembut. "Lebih dari rindu, aku membutuhkanmu. Tapi, kamu tidak ada." Caraka lantas cemberut.

Senyum di wajah Gatra seketika pudar. Ia sendiri benar-benar menyesal akan apa yang ia lakukan kemarin pagi. Untung saja, Caraka tidak mati saat ia pergi. Hei, pemikiran macam apa itu?

"Maafkan aku. Namun, sekarang aku sudah di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi," ucap Gatra.

Tangan Gatra terangkat di udara, lalu mendarat dengan jari-jari yang langsung menyingkap juntaian rambut di dahi Caraka. Helai-helai hitam tadi sudah tersingkir ke atas. Gatra pun bisa mengamati kening itu dengan leluasa. Baguslah, luka di kulit mulus itu sudah memudar, bahkan sebelum sempat ia beri mantra. Ini pasti berkat Tera.

Jemari Gatra setia bertautan dengan surai Caraka yang legam. Kilau emas dari matanya masih menyorotkan sesal atas apa yang telah ia lakukan. Walaupun tidak sengaja, ia telanjur melukai Caraka, bahkan meninggalkannya begitu saja. Namun, saat ia kembali, Caraka masih mau menerima. Itu membuat Gatra malu, membuatnya merasa tidak pantas disebut penyembuh yang baik untuk Caraka.

"Ada apa, Gatra? Lukanya, kan, sudah tidak ada?"

Mendengar Caraka berbicara, Gatra mengangkat sudut bibirnya, tersenyum manis, merespons nada yang tertangkap telinga. Telapak tangannya kini mengacak-acak rambut Caraka, dengan pucuk jari yang menyentuh kulit kepala. Pemilik rambut pun hanya diam tanpa perlawanan, lalu meliriknya dengan tatap heran.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang