14. Sayapnya Patah

46 8 37
                                    

Setengah petak tanah tengah menumbuhkan benih bunga yang ditanam. Sebagian lagi sudah berbunga, bermekaran dengan semerbak mahkota nan cendayam. Hal itu menciptakan seulas senyum pada wajah si penyiram. Sudah cukup lama ia mendapat tanggung jawab ini, dan ia senang karena apa yang ia rawat mampu tumbuh dengan baik. Pemilik lama sudah tidak bisa mengurusnya, lantaran tak cukup sihir dan tenaga.

Sekali lagi, jemari lentik Gatra menguarkan aura jingga, menarik gumpalan tirta, lalu membuatnya menjalar di udara. Ia turunkan layaknya rintik hujan, menciptakan titik basah pada daun-daun tanaman. Namun, ia menghenti gerak, kala merasa jantungnya lebih cepat berdetak. Suatu sinyal magis mengambil alih kuasa saraf, membuatnya memilih datang pada sumber panggilan, dengan dibawa kepakan sayap. Gatra sudah mengerahkan seluruh cepat, tapi tampak terlambat, saat mendapati tubuh peri muda yang tergeletak.

"Raka! Apa yang ...."

Gatra memekik panik, tapi tak mampu melanjut kata. Terkejut, lantaran menemukan potongan sayap milik Caraka. Robeknya tidak biasa, bahkan telah terlepas dari raga pemiliknya. Sementara, peri biru yang terluka-Caraka-tak juga menunjukkan hidup yang sesungguhnya, tampak nyaman bertahan dalam pejam sempurna. Gatra semakin takut.

Caraka kenapa, dan bagaimana kalau kenapa-kenapa?

Namun seakan, otak Gatra lupa caranya bekerja. Tak sedikitpun mengirim ide untuk memberi mantra. Desir angin yang berembus perlahan, ia abaikan, lantaran merasa bahwa itu tak menerbangkan alufiru perasaan. Gatra kacau, tak hirau akan cara semesta menenangkannya. Sedari tadi terus menggumam ceracau, memanggil nama Caraka tiada henti. Risau terlampau mengusik hati, hingga ia tak menyadari jatuhnya rintik mata di tengah pipi. Walau Gatra dokter, ia belum terbiasa dengan keadaan ini. Bahkan, tangannya hanya mengguncang bahu Caraka, tanpa berniat mengecek denyut arteri.

"Raka ..., kumohon, buka matamu."

Kawannya itu tampak menyirap kelopak, sementara Gatra mengusap basah pipinya yang berjejak. Gatra memegang pundak Caraka lebih erat, membuat pendar biru itu beradu dengan miliknya yang keemasan. Namun tak lama, Caraka kembali menutup mata, menyampaikan rasa sakit lewat sebuah panggilan.

"Gatra," panggilnya serak.

"I-iya, aku di sini. Sayapmu patah sedikit, ya? Biar kuberi mantra."

Kendati panik menyerang, Gatra berusaha berucap tenang. Namun nyatanya, gusur tak mengusir getir, gusar terus bergaduh, menggaet gagap hingga tergagu. Gagasan pun gugur. Gatra bingung memilah mantra, mencoba satu-satu, teriring gempar menguasai selingkar raga. Sampai lupa jika jampi yang ia baca hanya akan melebur tanpa guna. Baru sadar, kala Caraka menyuarakan getarnya.

"Cukup, ini akan sia-sia."

Gatra berhenti, berpindah fokus pada leleh air di sepetak pipi. Caraka kesakitan, hingga meneteskan bulir jernihnya serupa aliran. Gatra juga tidak tuli untuk terus menangkap rintihan. Namun, ia tak bisa apa-apa. Mantra-mantra yang sejak tadi ia kerahkan, hanya berakhir hampa. Gatra mulai lelah, tapi tidak tega melihat raut sakit Caraka.

Mereka masih bertahan pada posisi tadi. Caraka tergeletak miring, menghadap pada ia yang duduk dalam hening. Gatra tak berani menyela rintih sang perih, hanya memandangi Caraka dengan wajah sedih. Hatinya terus mengucap maaf, lantaran tak bisa menjadi penyembuh yang baik. Ia bahkan tak tahu bagaimana sayap itu bisa terpotong. Yang Gatra tahu, itu karena ia tidak menjaganya dengan baik.

Dua butir biru melontar sendu lewat pendar sayu. Saat iris mereka beradu, Gatra menjaga air matanya sekuat tenaga, tapi tidak mampu. Rumput yang Caraka cengkeram sudah terlepas dari kokoh akarnya, pun Gatra yang kehilangan tegar tiap kali mendengar erangan Caraka. Entah sejak kapan, Caraka sudah menjadi kelemahan terbesarnya.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang