31. Tidak Terduga

18 4 4
                                    

Beberapa hal terjadi tanpa terduga. Yang kemarin bisa ia ajak bermain bersama kini terbujur sakit dengan wajah pucatnya. Kondisinya mendadak turun saat peri itu bangun. Padahal, kemarin baik-baik saja.

"Ada apa? Butuh sesuatu?" tanya Gatra tatkala Caraka tiba-tiba menatapnya.

Yang ia dapat selanjutnya hanya gelengan pelan. Bibir pucat Caraka menarik senyuman. Caraka lalu meraba selimut yang beberapa menit lalu ia pasangkan.

"Selimut semacam ini sangat nyaman. Kapan-kapan, ajari aku merajut, ya?"

Tidak ada alasan untuk tidak mengangguk. Caraka lalu tersenyum. Namun, Gatra merasa aneh. Seperti ada perasaan takut yang menggerayang hati. Entah ketakutan macam apa. Itu tidak bisa pergi, bahkan sudah ia abaikan sejak tadi.

"Gatra," panggil Caraka. "Ramuan biru yang difermentasi akan jadi besok, kan?"

Gatra tersenyum. "Itu benar. Besok akan menjadi hari paling menyenangkan, di mana sihirmu akan kembali, sayapmu utuh lagi, dan kamu bisa terbang." Tangan kanan Caraka ia rengkuh dalam genggaman.

"Benarkah? Tapi, kalau waktuku tidak sampai besok, bagaimana?"

Gatra membeku. Kalimat bernada santai yang Caraka katakan membuat perasaannya kian tak tentu. Gatra mengatur ekspresinya senatural mungkin, lalu mengusap-usap tangan Caraka yang terasa dingin.

"Apa yang kamu katakan?" Gatra lalu tertawa pelan.

Selama beberapa menit, keduanya terjebak sepi. Gatra sungguh mengkhawatirkan pasiennya. Karena sejak ia melakukan pemeriksaan pagi, Caraka memang tidak baik-baik saja. Namun, peri itu cukup banyak bicara. Padahal biasanya, peri itu lebih banyak diam saat sedang sakit.

"Gatra," panggil Caraka lagi. Yang dipanggil memasang telinga, membiarkan alunan suara peri biru mengalir memasuki ruang dengar. "Kincir airnya ... ada satu kayu yang mau patah," kata Caraka.

"Benarkah? Kalau begitu, aku akan memperbaikinya besok."

Gatra agak terkejut saat genggamannya dilepas tiba-tiba. Taut tangan yang tadinya erat terurai pelan oleh Caraka. Ujung bibir itu mengarah ke bawah. Mata biru yang sayu itu mengarah wajahnya, menunjukkan tatap tidak terima. Memangnya kenapa? Kalau bisa besok, kenapa harus sekarang, memperbaikinya?

Caraka berkata, "Tapi, kayu itu sudah terlihat rapuh. Kalau menunggu besok, bisa-bisa betulan patah. Nanti, kincirnya tidak bisa mengalirkan air dengan baik, lalu tanaman obat dan bebungaan milik kita bisa mati."

Embus napas pelan Gatra alunkan bersama desir angin yang menggoyangkan reranting flamboyan. Bibir manis Gatra menyungging seulas senyuman, senyum gemas yang seolah berkata, "Hei, itu berlebihan!" Bagaimana tidak? Ini hanya perkara kincir air yang kayunya rapuh satu, belum benar-benar patah, tetapi Caraka sudah khawatir jika tanaman-tanamannya mati karena tidak tersirami.

"Iya, aku akan mencari kayu yang bagus, lalu memperbaikinya, nanti. Jadi, tanaman di sana akan baik-baik saja, mengerti?"

Caraka memberi anggukan kecil untuk menanggapi. Kemudian, bibir peri itu kembali bersuara.

"Rawat baik-baik, ya. Kalau suatu saat ada yang membutuhkan tanaman obat, ambil saja dari sini. Setelah ini, kamu akan banyak mengobati orang lain, kan?" tanya Caraka.

Gatra terdiam sebentar. Mungkin, Caraka benar. Caraka akan sembuh besok, lalu ia harus mencari pasien lain untuk disembuhkan. Itu berarti, ia akan segera pergi dari sini. Apa tidak apa-apa untuk meninggalkan Caraka sendirian?

Membayangkan bagaimana mereka akan berpisah membuat Gatra terbenam dalam renung panjang. Bagaimanapun, Caraka itu saudaranya. Hidup terpisah tampaknya tidak mudah. Gatra mulai khawatir akan mekanisme rindu yang nantinya pasti datang.

"Gatra, kepalaku sakit, rasanya seperti berputar."

Keluh lirih dari si biru membuyarkan seluruh ingar di kepalanya. Gatra buru-buru mengumpul mantra, menyiapkan sihir penyembuh di telapak tangan bercahaya jingga. Gatra menaruhnya di kepala Caraka, menyalakannya lebih terang, berharap sihirnya tersalur sempurna. Caraka pun terlihat memejam, lalu kerut tipis di dahinya memudar perlahan-lahan.

"Terasa lebih baik, bukan? Tidurlah, Peri Biruku. Aku akan menemanimu," tutur Gatra.

Setulus belai udara yang mengelus daun-daun liar, Gatra tersenyum. Ia biarkan Caraka memilih posisi nyaman, yang berakhir memunggunginya. Sejurus kemudian, senyuman yang ia pasang mulai memudar. Gatra terkejut dengan penampakan di hadapannya. Sayap itu ... pangkalnya mulai merekah, setengah langkah menuju patah.

Dengan pelan dan hati-hati, Gatra bertanya, "Raka, sayapmu terasa sakit, ya?"

Yang ditanya langsung mengangguk. Gatra pun memberi tindakan. Namun, Gatra sendiri tidak yakin apakah ini benar-benar menyembuhkan. Sihir jingganya memang sudah menyelubungi pangkal sayap biru yang terluka, helai sayap berlubang-lubang itu pun sudah kembali terpasang sempurna. Kendati demikian, Gatra masih terbayang dengan rongga kosong yang hampir memisahkan punggung Caraka dengan sayap sebelah kanan.

Gatra berhasil menyelamatkan yang hampir, tapi tetap takut tentang cara semesta melanjutkan takdir. Gatra khawatir jika Caraka kehilangan kedua sayapnya. Seorang peri memang bisa hidup tanpa sihir, seperti Caraka. Namun, peri mana pun takkan bisa hidup jika sayapnya terpisah dari raga. Tidak mau! Gatra tidak mau Caraka mengalami itu. Ia tidak mau ditinggal mati oleh si biru.

Caraka berguling sembilan puluh derajat menuju terlentang, lalu berkata pelan, "Gatra, mantramu berhasil, nyeri sayapku mereda. Jangan bersedih seperti itu, aku akan baik-baik saja."

Gatra tahu jika Caraka berdusta. Gatra tahu bahwa peri itu masih kesakitan. Namun, Caraka bersusah payah menghiburnya, dengan ucap manis dari bibir tipis yang masih cakap mengukir senyuman. Itu kepalsuan paling nyata di antara indikasi jelas yang menentang baik-baik saja.

Gatra hanya tersenyum, sepalsu kenyataan yang ia terima, kenyataan yang menunjukkan betapa parah kondisi Caraka. Sayap itu sudah mau patah, tidak tahu akan bertahan berapa lama. Namun, Gatra mengikuti permainan Caraka, tersenyum lebar seolah tidak akan terjadi apa-apa. Ia memasangkan kembali selimut jingga muda yang tadinya berantakan, lalu mengusap sekilas rambut Caraka, sembari mengatur senyum hingga matanya hampir menghilang.

"Itu benar, semua akan baik-baik saja, karena pasienku ini peri yang hebat. Tidurlah! Atau, kamu ingin berbaring di pangkuanku?"

Tak seperti biasa, Caraka malah menggelengkan kepala. Tatap lemah dari peri yang berbaring itu menganak panah, mengarah ke manik emasnya yang berusaha cerah. Senyum Gatra masih merekah, menanti bagaimana sunyi terpecah oleh suara si kawan. Hingga akhirnya, kedip pelan itu mengiring permulaan, dilanjut beberapa kalimat yang merajut perkataan.

"Kamu nanti akan sibuk. Kamu akan membersihkan sekitar kebun, memanen bunga, juga memperbaiki kincir air. Benar, kan? Pokoknya harus diperbaiki, supaya tanaman di sana tersirami dan tumbuh dengan suburnya."

Gatra membalas, "Iya, iya. Sekarang pejamkan matamu dan jangan banyak bicara. Aku tahu, kau kesakitan, jadi tidurlah sekarang juga!"

Tepat setelah sepi meleburkan seluruh kalimatnya, Caraka lekas menutup kelopak mata. Gatra meraih lembut tangan kiri Caraka yang dingin itu, guna membagi hangat yang ia punya. Sentuhan kecil seperti ini pasti membuat Caraka cepat terlelap. Dengan begitu, ia bisa memperbaiki kincir air, seperti yang Caraka minta. Gatra tahu, peri biru di depannya sangat menyukai kincir air itu. Caraka bisa berjam-jam duduk di sana hanya untuk mengamati perputaran si roda.

Tiba-tiba, Caraka membuka mata. Lirihnya kembali mengaju pinta. "Saat aku bangun, kincir airnya harus sudah diperbaiki, ya!"

###

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang