12. Kepada Redup

47 10 50
                                    

Diantar ulur hasta yang berekspedisi, punggung jemari mendekat pada sepetak pipi. Terasa sensasi membakar, yang terus menguar, menjadi-jadi. Namun, sentuh tetap melabuh, mendarat jatuh, dan menyerap sengat hangat dari tempat yang dihinggapi. Rasa panas kian jelas, terus merayap lewat kontak kulitnya dengan pemilik pipi. Kasihan, demam yang menyerang tak lekas pergi, malah kian meninggi.

"Raka," panggilnya perlahan.

Biru tak lagi beradu dengan biru lainnya, tapi mengedar dan berhenti pada pemanggil nama—–Gatra. Peri jingga itu balik memandang redup si netra, yang tampak mengulurkan selaksa rasa sakit yang menyelusup langsung ke relung dada. Namun, tiap kali ditanya yang sakit bagian mana, Caraka menggeleng, tidak tahu, katanya. Atau mungkin, sakitnya menyebar di mana-mana, hingga sulit diungkapkan dengan kata. Gatra jadi bingung, bagaimana bisa ia menyembuhkan tanpa mengetahui keluhan yang pasiennya rasakan?

"Kalau ada yang sakit, langsung katakan saja, biar aku cepat mengobatinya," ujar Gatra.

Detik-detik yang tak terdengar, dihabiskan untuk saling diam. Gatra menanti dengan sabar, menganyam sunyi, sambil terus membungkam. Matanya masih setia menyaksikan durja tampan dengan pendar redup dari binarnya yang ruyup. Paras itu nirmala tanpa cela, tanpa cacat maupun jerawat. Namun, corak yang tergurat masih tampak pucat.

Gatra tak tahu harus bagaimana. Sedari tadi, tangannya masih bertengger di pipi Caraka, tapi tak berniat mengerahkan mantra. Ini sulit, tubuh Caraka lebih banyak menolak mantra saat sedang sakit. Terkadang, Gatra juga takut salah, takut jika sihirnya hanya membuat sakit itu kian bertambah.

Di tengah sepi yang asyik melagu, telinga Gatra merekam embus napas si biru yang berdesah, membelah bisu teriring sejumlah untaian madah.

"Kubilang, aku tidak tahu! Semuanya sakit, Gatra. Lebih sakit dari biasanya ...," rengek Caraka. "Jangan bahas rasa sakitku, itu membuatku semakin merasakannya. Uh, semuanya nyeri. Dan sekarang, tanganku terasa kesemutan."

Gatra memperhatikan pasiennya yang berujar kesal, tampak mengerucutkan bibir sambil mengibas-ngibaskan tangan kanan. Gatra tak membiarkan, segera meraih tangan itu, lalu memberinya pijatan pelan. Sihir jingganya juga berpijar, berharap menggusur senyar yang menggeranyam. Setahu Gatra, kesemutan itu tidaklah nyaman, apalagi dipadukan dengan rasa sakit yang terus menghunjam.

Gatra mengerti, Caraka selalu menghindar dari rasa sakitnya sendiri, lalu memendamnya sendirian. Caraka tidak mau mengatakan, berpikir rasa itu akan lenyap jika diabaikan. Padahal, Gatra itu dokter, harus memahami apa yang pasiennya rasakan, lalu bertindak untuk menyembuhkan. Dengan begitu, ia akan merasa berguna. Namun, apa benar ia hanya menambah rasa sakit pasiennya, dengan terus-terusan menanyakan gejala?

Gatra menghela napas. "Raka, dengarkan aku. Aku ini doktermu, jangan ragu mengutarakan rasa sakitmu padaku. Tidak apa-apa jika kamu merasakan sakit. Bersyukurlah untuk apapun yang kamu rasakan, sekalipun itu menyakitkan. Kemudian, aku akan mengobatinya. Tapi, bagaimana aku mengobati, jika tidak mengerti sakitmu seperti apa?"

Raut seriusnya ditanggapi kerling malas dari manik biru nan sayu. Gatra memaksakan senyum, mengumpulkan lagi kesabaran yang tercecer berserakan. Pasiennya memang menyebalkan, tapi Gatra tetaplah peri dokter, yang harus selalu menjalankan kewajiban.

Pekerjaan ini membuatnya banyak mengalah, mengorbankan banyak hal demi penyakit Caraka yang kian parah. Entah itu waktu, maupun kegemarannya ..., semua dituntut berubah. Gatra tak bisa lagi menulis sepanjang hari. Tidak apa-apa, harus tidak apa-apa. Ia terpaksa menjadi seorang penyembuh yang bekerja dengan hati. Lagi pula, ayahnyalah yang memintanya bekerja di sini. Kata ayahnya, Gatra harus bekerja dengan baik, memperlakukan pasiennya dengan baik, dan membuat pasiennya merasa lebih baik. Baik, sekarang adalah saatnya menjadi peri penyembuh yang baik.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang