23. Lelah, Katanya

40 7 13
                                    

Secara sengaja, kakinya memaku diri pada sepetak sabana tempatnya berdiri. Geraknya kini terhenti, menentang deru angin yang tadi mampu memindahkan puing rumput kering hingga menepi. Menepinya menuju titik tengah antara ia dengan peri biru. Fokusnya pun terhimpun ke sana, ke bawah kokoh flamboyan dengan adegan krusial yang membangunkan angkara. Pasiennya mulai nakal, ternyata. Peri itu berulah saat ia tinggalkan sebentar untuk berkemas. Dari sini terlihat jelas, saat segelas ramuan buatannya dibuang sia-sia, sengaja ditumpahkan begitu saja.

Manik emas Gatra berkilat marah. Dadanya jadi panas, penuh amarah. Langkah tegasnya menapak maju, dengan tangan terkepal membentuk segumpal tinju. Gatra kesal, Caraka harus tahu!

"KAMU MEMBUANGNYA?"

Kehadirannya baru disadari Caraka, tepat saat tanya tinggi itu melantang gema. Saking terkejutnya, Caraka menjatuhkan gelas kosong tadi. Gelasnya menggelinding jauh, hingga pandangan Gatra menolak membuntuti. Gatra lebih tertarik menguliti si biru dengan tatap tajam.

Caraka bergumam gugup. "M-maaf, aku hanya——"

"Hanya apa?! Memberi minum pohon dan rerumputan?" Gatra memotong.

Tubuh dan sayap jingganya menyala lebih terang. Namun, auranya terasa gelap, dengan kobar api yang sepenuhnya melahap tenang. Gatra benar-benar marah. Sorot matanya teracung tajam, penuh ancaman. Pun kata-kata yang terucap, mencabik kuat lewat pekik penuh kekecewaan.

"Membuat ramuanmu itu sangat sulit, Raka. Aku belajar berbulan-bulan hanya untuk itu. Aku selalu memilihkan bahan terbaik dan mengukur takarannya seteliti mungkin. Namun, apa ini? Kamu tidak menghargai usahaku?"

Yang ia lihat hanya peri biru yang kian layu. Terlihat ragu sekadar menatap. Sementara, Gatra terus menghakimi, mengungkap seluruh kesal hingga Caraka benar-benar mengerti. Tidak peduli nanti Caraka akan menangis atau apa, Gatra masih betah merongseng seperti ini. Baginya, Caraka harus dimarahi.

Bagaimanapun, melihat ramuan buatannya terbuang sia-sia membuatnya sakit hati. Gatra tidak terima diperlakukan seperti ini! Bukan hal mudah untuk meraciknya, tapi Caraka membuang ramuan tadi seenaknya. Padahal, Gatra sudah menjadi dokter yang baik selama ini. Mengapa Caraka begitu tega?

"Bukankah kamu tahu betapa pentingnya ramuan itu? Dan sepertinya ... kamu tidak ingin minum obat lagi. Atau, kamu tidak ingin hidup lebih lama? Ya sudah. Kalau begitu, aku tidak perlu meracik apapun lagi untukmu, bagaimana?" sinis Gatra.

Posisinya yang berdiri membuat Gatra perlu menundukkan kepala. Ia baru mendapat tatap balasan, tepat setelah kalimatnya berlalu sempurna. Namun, Caraka hanya melirik, lalu berpaling lagi dengan membawa mata berkaca-kaca. Kemudian, kepala berambut hitam itu menggeleng, tanpa kata, tanpa suara.

"Lalu, maksudmu apa berlaku seperti tadi? Kamu curiga kalau aku menambah racun di ramuan itu? Atau apa? Ayo, katakan!"

Gatra mendudukkan diri, tepatnya di hadapan Caraka yang masih bungkam. Ia tarik napas dalam-dalam, mengemis pada hawa sabana untuk paru-parunya yang miskin tenang. Namun nyatanya, Gatra masih kesulitan.

"Kamu pikir, meramu itu mudah?" sungutnya.

Senyap merayap semakin panjang. Masing-masing masih gemar memelihara hening sebagai pemeluk paling nyaman. Ada Gatra yang menyiram benih-benih tenang, ada pula Caraka yang bersandar penuh pada sepotong ketegaran rapuh yang dirawat mati-matian. Sulit, tetapi sepi sangat berbakat memimpin perasaan. Gaduh riuh yang semula lantang bagai tabuh genderang, sekarang mereda. Api dada yang semula membara mulai meredup, menyisakan keping arang yang minim nyala.

Gatra mengembuskan napas, melepas sisa angkara meski belum sepenuhnya terkuras. Bunyi debas itulah yang membatasi mereka dengan hamparan sunyi. Seolah-olah, Gatra menuntun Caraka pada dua arah konversasi, tidak seperti tadi.

Larik CarakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang